Bagian 19

2.7K 139 4
                                    

Dewi menunduk. Ia salah tingkah. Tak mungkin ia menerima tawaran Kyai Hakim untuk menikah dengan Ilham. Ia tahu bahwa Dina, sahabatnya, putri dari salah satu pengajar di pesantren ini, Ustaz Hasyim, mencintai Ilham. Dan Dewi pun tahu bahwa cinta Dina bersambut karena Ilham telah mengirim surat agar Dina mau menunggu sampai ia menyelesaikan pendidikan di Mesir yang kurang setahun lagi. Tak mungkin Dewi menjadi penghianat dalam persahabatan mereka.

"Ya, sudah nggak apa, dipikir belakangan aja itu. Jangan dimasukkan hati. Yang penting sekarang kamu harus terus semangat menebar kebaikan. Ya ngaji juga ngajar di sini. Ayo tambah lagi lauknya," ucap Kyai Hakim bijak setelah melihat perubahan wajah Dewi akibat tawarannya tadi.

Dewi mengambil lauk dan mengunyahnya pelan dengan pikiran yang mengembara ke mana-mana. Tak berapa lama acara makan bersama itu selesai dan Dewi undur diri kembali ke kamarnya.

Keesokan harinya, Dewi bangun jauh sebelum subuh. Pikiran dan jiwanya jauh lebih tenang sekarang. Apalagi didengarnya suara-suara dari asrama santri putri. Yah, meski para santri itu melakukan semua aktifitas nyaris tanpa suara, karena jam masih menunjukkan dini hari, namun tetap saja terdengar sampai kamar Dewi.

Perempuan itu bangkit dari ranjang untuk menuju kamar mandi. Segera ia berwudlu dan bergabung dengan santriwati lainnya di masjid pondok lalu larut dalam ibadah sepertiga malam sampai subuh menjelang.


"Yasin. Wal qur'anil hakiim. Innaka laminal mursaliin...."

Dewi mulai mengisi hari-harinya sebagai santriwati dengan bersemangat. Ia selalu mengawali hari dengan membaca surah Yasin. Seperti pagi ini,  lantunan merdu surah Yasin terdengar dari kamarnya. Yasin adalah sebuah surah dalam Al-Quran yang masyhur karena memiliki banyak keutamaan. Rasulullah sendiri yang ndawuh akan keutamaan surah tersebut. Salahsatunya adalah barangsiapa yang setiap hari membaca surah Yasin semata karena Allah, maka dosanya akan diampuni. Dewi selalu mengingat-ingat pesan yang disampaikan Kyai Hakim ketika ia masih nyantri itu.

Dalam minggu pertama ini, jadwal Dewi adalah mengikuti kelas hafalan Al-Quran yang dibimbing langsung oleh Bu Nyai Hakim. Ia seakan menemukan kembali jiwanya yang sempat hilang. Perempuan bermata lebar itu sangat menikmati saat-saat mengulang dan mengecek hafalannya. Momen yang sempat hilang beberapa waktu lalu karena kedatangan Susi.

Dewi patut bersyukur, bahwa apa yang ia jalani sekarang adalah wujud pertolongan Allah kepadanya. Yang harus ia lakukan sekarang adalah belajar, belajar dan belajar serta terus memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik lagi. Ia bertekad mengabdikan diri pada jalur pendidikan agama. Seperti kakek-neneknya, Pakde dan budenya serta ayah dan ibunya.

"Dewi...kemari, Nduk." Bude Hakim memanggil di akhir kelas. Hanya tinggal mereka berdua di ruangan itu karena santriwati yang lain telah kembali ke kemar masing-masing. Tak terasa, hari ini tepat dua minggu, Dewi berada di pesantren.

"Nggih, Bude."

"Bude bangga meski kamu hidup di kota dan jauh dari pesantren, ternyata kamu masih istiqomah menjaga hafalanmu," ucap Bude. "Mulai besok, kau bantu Bude untuk mengajar santriwati level satu. Mereka masih dalam tahap awal untuk menghafal. Bagaimana?"

"Nggih, Bude. Dewi siap. Tapi Dewi tetap selalu minta bimbingan dari Bude, ilmu Dewi masih minim," sahut Dewi yang disambut dengan senyuman oleh Bu Nyai Hakim.

Dengan tugas baru itu, maka Dewi semakin sibuk dan ia tak sempat lagi memikirkan hal lain diluar itu. Apalagi seperti janjinya, ia selalu menyempatkan diri untuk menulis. Ia tak punya laptop pribadi, jadi ia mengetik di ruang komputer pesantren.

Cinta Jingga (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang