Pagi itu setelah memeriksa dan membalas beberapa email dari kantor di laptop, Zahid beranjak ke balik tirai filtrase jendela kamarnya. Apalagi kalau bukan untuk mengamati aktifitas tetangga sebelah. Biasanya jam sembilan pagi begini, Dewi telah selesai salat dhuha dan duduk di gazebo untuk membaca dan mengulang hafalannya. Dua minggu mengamati, ia mulai hafal ritme mereka.
Benar dugaannya. Dewi yang hari ini tampak cantik dalam balutan jilbab kuning, sedang duduk di gazebo. Mulutnya sibuk membaca mushaf yang dipegangnya, sesekali matanya terpejam untuk mengumpulkan konsentrasi agar ayat yang sedang dihafal bisa masuk dengan mudah ke otak.
Zahid mengedarkan pandangan ke seluruh taman. Sepi, selain Dewi, ada Bi Sum sedang membersihkan sesuatu di sudut taman. Sepertinya Lana dan Pak Wirya telah berangkat kerja.
Kring...kring...kring...
Tiba-tiba telepon berbunyi. Dengan malas, Zahid beranjak meraih gawainya. Ia mengerutkan kening melihat nomor yang tak dikenal tertera di layar gawai. Siapa?
"Halo...." Setelah agak lama, akhirnya Zahid menekan tombol jawab.
"Zahid, ya ampun sulit banget, sih, dihubungi. Aku benar-benar kangen." Suara perempuan di seberang menyambutnya manja. Sudah beberapa kali gadis itu menghubungi Zahid melalui nomornya sendiri, tapi tak pernah berhasil. Baru setelah pakai nomor lain, Zahid mengangkat panggilannya.
"Iya saya Zahid, siapa ini?"
"Ya ampun, suara pacar sendiri kok jadi lupa. Aku Jeena."
"Oh, ada apa Jeena?" tanya Zahid tanpa basa-basi. Ia sebenarnya sudah kurang respek sama Jeena setelah tak sengaja memergok gadis itu berduaan dengan Bobby di sebuah klub malam beberapa waktu lalu. Sebenarnya Zahid sendiri pun juga suka dugem dan gonta-ganti pacar, tapi melihat Jeena dan Bobby, egonya sebagai laki-laki tak terima.
"Aku kangen banget, Sayang. Kenapa, sih teleponku nggak pernah diangkat? Udah sibuk kerja, ya?"
"Iya," jawab pemuda itu singkat.
"Jangan kerja terus, lah. Sekali-kali refreshing, gimana kalo nanti malam kita bersenang-senang. Aku jamin kau pasti tak akan bisa melupakannya," rayu Jeena sambil sengaja mendesah-desahkan suaranya.
"Kenapa nggak kau ajak Bobby-mu itu?"
"Yaelah, rupanya kau masih marah perihal Bobby? Kan udah aku bilang dia hanya teman."
"Kau pikir aku buta sama kemesraan kalian. Sekarang, tolong jangan ganggu aku lagi," kata Zahid lalu menutup telepon dengan kasar.
Gawai berdering terus sampai beberapa menit kemudian. Tapi Zahid tak lagi tertarik mengangkatnya. Pemuda beralis tebal itu merasakan cintanya pada Jeena pelan-pelan memudar. Padahal dulu ia sangat memujanya. Jeena yang cantik, Jeena yang seksi, Jeena yang cerdas dan mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri.
Zahid mengenal Jeena setahun lalu di London. Kala itu Jeena sedang menjadi moderator sebuah diskusi bisnis yang diadakan ikatan pelajar Indonesia London. Gayanya yang terlihat smart sangat menarik hati Zahid. Ia semakin tertarik ketika mengetahui sang gadis ternyata juga berasal dari Malang. Pendekatan pun gencar dilakukan. Dua bulan kemudian mereka dekat dan Jeena jadi sering tidur di apartemen Zahid.
Setengah tahun lalu, Jeena memutuskan pulang ke Indonesia untuk membantu orantuanya mengurus perusahaan keluarga. LDR pun menjadi pilihan. Ketika Pak Yusuf meninggal dan Bu Mita memintanya pulang, maka Zahid dengan senang hati mematuhi perintah sang mama. Walau sebenarnya ia masih ingin belajar dan bekerja setahun atau dua tahun lagi di London. Ia tak memungkiri, Jeena adalah salah satu dari sekian gadis yang membuatnya semangat kembali ke Malang.
"Huhh...." Zahid menghempaskan badan ke ranjang empuknya. Masih terbayang kejadian ketika ia melihat Jeena dan teman prianya. Seperti biasa, menjelang tengah malam itu Zahid ingin mencari hiburan. Setelah lama memilih kafe-kafe yang tersebar di kota ini, ia memutuskan masuk ke sebuah kafe yang berada di sebuah mall. Disitulah ia bertemu Jeena dan Bobby. Mungkin Zahid bisa menerima bila Bobby hanya teman bagi Jeena, yang tidak bisa ia terima adalah gadis itu telah berbohong padanya. Hanya dua jam sebelumnya Jeena menolak ajakan Zahid untuk menemaninya menghabiskan malam dengan alasan masih di Jakarta.
"Ah, sudahlah, lupakan." Zahid menggelengkan kepala mencoba mengusir bayangan Jeena. Kini ada dua hal yang lebih menarik hatinya. Pertama yaitu pandangannya yang mulai berubah tentang Islam, agama yang dipeluknya tapi sama sekali jauh dari hidupnya dan yang kedua, tentang perempuan salihah.
Hmm, perempuan salihah? Zahid menerawang. Lama sekali ia tak mendengar istilah ini. Mungkin sejak masih SMA. Seperti siapakah yang dimaksud perempuan salihah? Jeena kah? Tina? Marsya? Lana? Dewi?
Zahid ingat, ketika SMA dulu ia memiliki seorang teman yang dalam ilmu agamanya. Kapan-kapan ia ingin mengunjunginya untuk bertanya berbagai pertanyaan yang belakangan ini berkecamuk di dada.
Kring...kring...kring
Gawai Zahid berbunyi lagi. "Siapa lagi ini?" tanya Zahid gusar. Nomor tak dikenal lagi-lagi tertera di gawainya. Zahid malas menjawab, paling-paling Jeena lagi. Tapi telepon terus berbunyi. Lama-kelamaan bunyi itu berhenti sendiri.
Tok...tok...
Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya diketuk. Zahid beranjak untuk membuka pintu.
"Mas Zahid, ini ada telepon dari Bu Mita." Pak Hari menyerahkan gawai lusuh miliknya pada Zahid.
"Iya Halo, Ma." sapa Zahid.
"Zahid, ditelepon ke kantor nggak ada, ditelepon ke hapemu nggak diangkat-angkat. Kemana aja, sih, Nak? Hiks...hiks...kamu nggak tahu sekarang ada berita duka, hiks...hiks...." Bu Mita menangis sesenggukan di seberang telepon.
"Tenang, Ma. Ada apa?" Zahid mencoba menenangkan Bu Mita.
"Nana kakak iparmu, nyawanya tak tertolong saat melahirkan. Tapi bayinya selamat huhuhu." Tangis Bu Mita terdengar semakin keras.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Sabar, Ma. Ini ujian. Jenazahnya apa langsung dibawa ke Malang?"
"Iya, ini Kak Zaky sedang mengurus pemulangan jenazah Nana. Kau tolong siapkan segala sesuatunya, ya?"
"Siap, Ma."
Setelah percakapan di telepon itu selesai, Zahid langsung menelepon seluruh keluarganya dan keluarga Nana. Tak lupa ia menyiapkan ambulans, masjid untuk sholat jenazah, tanah pemakaman dan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Jingga (Complete)
RomanceSiapa yang menyangka jika Zahid, pemuda 28 tahun yang baru pulang dari London, lulusan magister bisnis sebuah Universitas terkenal di sana, ternyata jatuh cinta pada perempuan muda tetangga sebelah rumah yang sering dilihatnya dari jendela kamarnya...