Tak seperti biasanya, pagi ini Dewi baru terbangun ketika azan subuh berkumandang. Dewi menggeliat, mengingat-ingat mimpinya semalam. Ia bermimpi indah bertemu Wirya. Namun anehnya, ketika ia sedang bercanda dengan almarhum suaminya itu, tiba-tiba datang Zahid dan Wirya pergi begitu saja setelah tersenyum manis meninggalkannya berdua dengan Zahid.
"MasyaAllah, mimpi yang aneh," gumamnya. Ia membaca surat Al-Fatihah khusus untuk almarhum suaminya itu lalu bergegas menuju kamar mandi untuk bersuci dan bergabung dengan santriwati lainnya untuk melaksanakan salat subuh di masjid pondok.
Matahari masih bersinar malu-malu ketika Dewi dan beberapa santriwati berangkat berolahraga. Hari ini mereka memilih berjalan tanpa alas kaki di area persawahan di belakang pondok sambil menghirup segarnya udara pedesaan. Pesantren ini memang terletak agak jauh dari jalan raya propinsi juga dari perumahan penduduk. Untuk sampai ke sini, harus melewati jalan desa yang masih sawah dan ladang di kanan kiri. Selain jalan-jalan pagi, para santriwati itu juga berkecipak-kecipuk di kali kecil yang masih lumayan jernih. Olahraga adalah kegiatan yang rutin dilakukan santri maupun santriwati di pondok salaf itu. Mereka melakukannya dua atau tiga kali seminggu.
Sedangkan Zahid, setelah salat subuh ia memutuskan melihat-lihat lingkungan pondok dan sekitarnya. Semalam Zahid telah menjelaskan siapa dirinya dan apa tujuannya datang ke pesantren ini pada Kyai Hakim. Kyai Hakim hanya mengangguk-angguk mendengar penuturannya. Pak Kyai tak tahu harus berkomentar apa, dia harus membicarakan hal ini kepada keluarga terutama Dewi. Setelah itu Kyai Hakim mengantar Zahid untuk beristirahat ke kamar khusus tamu yang terletak di asrama santri putra.
Zahid menghentikan langkah ketika melihat rombongan santri putri yang baru kembali dari berolahraga. Zahid memperhatikan dengan seksama. Di antara para santriwati itu ada seorang perempuan bercadar yang berbaris paling belakang. Dari gestur tubuh perempuan itu, Zahid yakin sekali kalau dia adalah Dewi. Zahid memutuskan berdiri menunggu rombongan itu lewat di depannya.
"Hei, ada apa ini kok berhenti," ucap Dewi heran melihat para santriwati berhenti berjalan. Ia hampir saja menubruk badan salah seorang santriwati yang berada di depannya.
"Itu, Ning. Ada bapak-bapak sedang berolahraga juga di sini," bisik Fatimah, salah seorang santriwati. Tangan Fatimah ragu-ragu menunjuk ke arah pemuda yang sedang melakukan gerakan senam ringan.
Dewi melempar pandangan pada seseorang yang ditunjuk Fatimah dan matanya terbelalak melihat Zahid berdiri di sana. Seketika jantungnya berdegup kencang.
"Ayo, kembali jalan. Kita tidak boleh terlambat masuk kelas," ucap Dewi sambil terus berusaha meredakan jantungnya yang seperti melompat-lompat. Para santriwati kembali berjalan dan mengucap salam ketika melewati Zahid.
Zahid menjawab salam itu dan menepi untuk memberi jalan.
"Dewi," sapa Zahid pada perempuan bercadar yang berbaris paling belakang dan sekarang melintas di depannya. Ia yakin sekali bahwa perempuan yang menundukkan wajahnya itu adalah pujaan hati yang sedang dicari-carinya. Dewi hanya menoleh sebentar dan cepat-cepat melangkah menyusul santriwati lainnya.
Zahid mengejar, "Dewi, aku minta maaf atas tulisan dan foto-foto itu."
Dewi berhenti dan menjawab ketus, "Anda sungguh tidak sopan telah memata-matai orang lain!"
"Aku benar-benar minta maaf, itu bisa aku jelaskan. Sebenarnya awalnya tidak sengaja. Sungguh tidak sengaja. Tapi kemudian aku... aku...." Zahid tak meneruskan kata-katanya. Semua kalimat yang telah tersusun rapi di otak dan akan diucapkan jika kelak bertemu Dewi tiba-tiba buyar. Apalagi kemudian Dewi berbalik untuk menghadapinya membuat Zahid semakin salah tingkah.
"Lalu apa maksud Anda datang ke sini? mau memata-matai juga?"
"Bukan, bukan begitu Dewi. Aku kesini untuk ...ee...melamarmu menjadi istriku," jawab Zahid spontan.
Dewi terkejut bagai terkena petir di siang bolong mendengar ucapan Zahid itu. "Anda pasti bercanda?'
"Aku serius, Dewi. Lihatlah aku sekarang, aku benar-benar mencintaimu dan ingin menjadikanmu istriku. Maukah kau menikah denganku, Dewi?"
"Anda pasti sedang bermain-main atau mungkin anda sudah gila?" jawab Dewi gusar.
"Kau tak harus menjawabnya sekarang, Dewi. Kau bisa memikirkannya atau istiharah terlebih dahulu selama seminggu ini. Aku akan sabar menunggu jawabanmu. Sambil menunggu aku akan belajar agama dengan serius pada Kyai Hakim. Aku siap menunggu apa pun jawabanmu. Satu hal yang harus kau ketahui, aku siap menjadi penjaga Al-Quran yang sudah kau hafal itu, Dewi," ucap Zahid mantap.
Ada sebuah kelegaan yang luar biasa menyusupi relung dada pemuda itu. Ia merasa plong karena telah mengungkapkan isi hatinya. Kemudian Zahid berlalu meninggalkan Dewi yang masih bengong dan terdiam mencoba mencerna kalimat pemuda itu. Dagelan macam apa ini? Pemuda itu sekonyong-konyong datang, melamarnya dan memberinya waktu seminggu untuk menjawab? Tiba-tiba Dewi merasa pusing, untung ia masih kuat berjalan ke asrama.
Malamnya, setelah kegiatan belajar mengajar selesai, seorang khadimah mengetuk pintu kamar Dewi untuk memberitahu bahwa Kyai Hakim memanggilnya. Dewi sudah menduga bahwa Pakde akan membicarakan tentang pemuda dari Malang itu. Dan dia sudah menyiapkan kata-kata.
"Nduk, kau Pakde panggil karena ada hal penting yang ingin Pakde bicarakan." Kyai Hakim memulai pembicaraan setelah Dewi duduk di kursi ruang tengah. Di ruangan itu juga ada Bu Nyai Hakim.
"Tentang apa, Pakde?"
"Kemarin ada tamu dari Malang bernama Zahid. Maksud kedatangan dia ke sini adalah, pertama, dia ingin melamarmu menjadi istrinya. Lalu yang kedua, sambil menunggu jawabanmu, ia akan belajar agama di sini," tutur Kyai Hakim. Sementara Dewi hanya diam mendengarkan.
"Bagaimana menurutmu, Nduk?" tanya Kyai Hakim.
"Dewi belum mau memikirkan pernikahan, Pakde. Dewi belum bisa melupakan Mas Wirya," jawab Dewi dengan halus.
"Nduk, Wirya sudah meninggal. Kamu pun masih muda dan cantik. Masa iddahmu juga telah selesai. Masa depanmu masih panjang. Ada baiknya kau pikirkan kembali lamaran pemuda itu." Pakde mengambil cangkir kopi di meja lalu menyesap isinya pelan. Sejenak, pria paruh baya itu termenung lalu melanjutkan perkataannya.
"Dia jauh-jauh dari Malang, lho. Kalau nggak sungguh-sungguh nggak mungkin dia mau ke sini mencarimu. Dia juga sudah mengutarakan ingin belajar agama dengan serius dan bertekad menjadi orang yang mematuhi Allah. Sebelumnya Pakde sudah menjelaskan padanya bahwa barang siapa hijrah karena harta, tahta atau wanita maka ia hanya akan mendapatkan tujuannya itu. Namun barang siapa berhijrah semata karena Allah maka dia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dan dia sudah bertobat serta menjauhi hal-hal buruk yang dulu pernah dilakukannya. Menurut Pakde itu sungguh luar biasa. Kembali ke jalan Allah adalah suatu nikmat yang tak terkira." Pakde kembali menyesap kopinya pelan. "Ia juga mengutarakan siap menjaga kamu beserta hafalanmu. Oiya apa kamu udah mengenalnya sebelum ini, Nduk?"
Dewi gelagapan mendengar pertanyaan Pakdenya. "Belum terlalu kenal, Pakde. Kan Dewi pernah cerita waktu polisi datang menggerebek rumah Dewi dan menyegelnya, yang menolong Dewi adalah Bu Mita. Bu Mita adalah ibu Zahid ini. Mereka adalah tetangga baru di komplek kami, rumahnya persis di sebelah rumah Dewi. Bu Mita sangat baik dan sayang sama Dewi. Beliau menampung dan memfasilitasi Dewi untuk pulang ke sini. Bu Mita pernah bilang, Zahid adalah putra bungsunya baru pulang dari London dan baru selesai S2 di sana. Jadi Dewi harus menjawab apa pada pemuda itu Pakde? Dewi bingung."
Kyai Hakim memandang putri dari adiknya itu dengan sayang. Ia telah menganggap keponakannya itu sebagai anaknya sendiri. Keponakan tersayang yang telah yatim piatu sejak kecil. "Kau tak harus menjawabnya sekarang, Nduk. Berdoa dan minta petunjuk pada Allah. Tak perlu buru-buru."
Dewi terdiam dan tidak tahu harus bagaimana. Bu Nyai Hakim yang dari tadi diam saja, mengelus pundak Dewi dengan lembut.
"Kamu perempuan salehah, Nduk. Allah pasti memilihkan jodoh yang terbaik untukmu. Bersabarlah dan terus meminta petunjukNya," ucap Bu Nyai Hakim menenangkan hati Dewi yang galau.
"Inggih, Bude."
Setelah dirasa pembicaraan itu cukup, mereka pun kembali ke kamar masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Jingga (Complete)
RomanceSiapa yang menyangka jika Zahid, pemuda 28 tahun yang baru pulang dari London, lulusan magister bisnis sebuah Universitas terkenal di sana, ternyata jatuh cinta pada perempuan muda tetangga sebelah rumah yang sering dilihatnya dari jendela kamarnya...