Bagian 5

3.2K 149 2
                                    

"Pak ini ada sedikit tali asih dari keluarga kami, terimakasih atas segala bantuannya." Zahid mengulurkan amplop berisi uang pada pengurus makam.

"Wah, terimakasih, Mas. Semoga almarhumah diampuni dosa-dosanya dan diterima amal kebaikannya." Pengurus makam  menerima amplop itu dengan wajah berbinar.

"Amin."

Zahid menghela napas lega. Semua urusan pemakaman kakak iparnya telah rampung. Ia melirik arloji bermerk terkenal yang melingkar di tangan kirinya.

"Ya ampun, sudah hampir jam dua!" serunya.

Begitu sibuknya Zahid menyiapkan keperluan pemakaman, sehingga tak terasa waktu telah menunjukkan jam dua siang. Segera ia bergegas menuju bandara Abdur Rahman Saleh untuk menjemput keluarganya.

Pemuda itu menitikkan air mata menyaksikan peti jenazah diturunkan dari pesawat yang sengaja dicarter secara pribadi oleh mamanya. Tampak Bu Mita yang berpakaian serba hitam. Di gendongannya ada bayi lucu yang sedang tertidur pulas. Di belakang Bu Mita, Kak Zaky berjalan dengan menundukkan wajah. Zahid kaget melihat penampilan kakaknya sekarang. Empat tahun mereka tak bertemu. Zahid memang sudah bisa menebak jalan hidup kakaknya itu. Dengan celana gelap, baju koko putih dan berkopyah plus surban membuat Zaky terlihat relijius.

Dua orang kakak beradik itu, meski memiliki wajah yang mirip dan sama-sama ganteng,  namun berbeda dari segi sifat. Zahid adalah pemuda yang romantis, simpatik, slenge'an dan disukai gadis-gadis, sedangkan Zaky lebih serius, tertutup dan agamis.

"Assalamualaikum, Zahid," sapa kakaknya.

"Waalaikumsalam."

Mereka bersalaman lalu berangkulan. Zaky tak kuasa menahan airmatanya, ia menangis sesenggukan di pundak sang adik.

"Sabar, ya, Kak." Zahid menepuk lembut pundak kakaknya. Tak urung, air mata pemuda itu ikut meleleh apalagi setelah melihat ponakannya yang kini piatu.

Beriringan mereka mengiringi peti jenazah Nana menuju ambulan yang langsung mengantar ke rumah mereka di kawasan Ijen.

Sementara itu, di rumah keluarga Pak Wirya, Lana dan Dewi sedang berada di tempat kesayangan mereka, di mana lagi kalau bukan di gazebo depan musholla di taman belakang. Seperti biasa Dewi membaca dan mengulang hafalannya sedangkan Lana duduk di sebelahnya sedang mengetik sesuatu di laptop. Mereka asyik dengan kesibukan masing-masing.

"Assalamualaikum, Alhamdulillah Mas senang sekali dianugerahi istri-istri yang cantik dan rukun. Kalian berdua adalah qurrotu a'yun." Tiba-tiba Wirya datang menyapa kedua istrinya.

"Waalaikumsalam." Lada dan Dewi menjawab serempak.

"Eh, Mas sudah datang? Maaf kami tadi lagi asyik jadi nggak dengar kalau Mas Wirya datang," ucap Dewi polos. Ia berdiri dan mencium tangan suaminya takzim.

"Iya, maaf ya, Mas. Aku ambilkan minum dulu, ya. Mas Wirya pasti capek," kata Lana seraya bangkit hendak mengambil minum.

"Biar Dewi aja, Kak. Kasihan kakak dan dedek bayi. Kakak temani Mas Wirya aja di sini." Dewi segera meletakkan Al-Qurannya dan bangkit menuju dapur untuk mengambil minum. Sekilas Dewi melihat Wirya mengelus dan mencium perut Lana. Hatinya berdebar karena cemburu. Ia melangkah lebih cepat sambil membaca surat Ar-Rohman untuk meredakan kecemburuannya.

Wirya yang melihat langkah cepat istri pertamanya itu, paham kalau Dewi cemburu. Ia jadi tak enak hati. Ia segera memanggil Dewi.

"Dewi, sini. Mas tadi sudah minum jadi nggak usah ambil minum lagi. Mari duduk, ada yang ingin Mas bicarakan," pinta Wirya.

Dewi menurut, ia kembali duduk di sebelah Wirya.

"Begini...." Wirya membuka pembicaraan.

Lana dan Dewi mendengarkan penuh penasaran apa yang akan dikatakan suaminya.

"Tiga hari ke depan Mas ada meeting di Batu. Mas ingin mengajak salah satu dari kalian. Gimana menurut kalian?"

"Sebaiknya Dewi aja yang ikut, Mas. Biar ia refreshing dan nggak di rumah terus. Kandunganku semakin besar, aku harus jaga kesehatan supaya tidak kecapean." Lana tersenyum memandang Wirya dan Dewi.

"Di sana Dewi ngapain, Mas?" tanya Dewi.

"Nemanin Mas lah, dan bantu nyiapin keperluan Mas selama di sana."

"Bukannya Dewi nggak mau melayani suami. Tapi sebaiknya Kak Lana aja. Dewi kan udah ikut ke Bandung tempo hari. Sekarang giliran Kak Lana. Lagipula Dewi harus mengulang Juz 12 yang kurang lancar," ujar Dewi.

Wirya dan Lana berpandangan mendengar jawaban itu. Lebih-lebih Wirya, ia bingung mana yang harus dipilihnya. Kedua istrinya bersikap saling mengutamakan yang lain.  Lana benar, Dewi yang sehari-hari di rumah pasti jenuh, ia butuh penyegaran. Tapi meeting kali ini adalah pertemuan penting dengan calon klien,  Lana adalah dosen yang  smart, dia bisa membantunya untuk merumuskan sebuah keputusan penting pada pertemuan itu nanti. Apalagi memang sekarang adalah giliran istri keduanya itu.

"Gimana Lana, kau saja yang ikut, ya. Dewi udah rela untukmu. Bisa, kan?" Wirya menatap Lana.

"Baiklah...," jawab Lana.

"Maaf, Pak, Bu." Tiba-tiba Bi Sum datang dengan tergopoh-gopoh.

"Iya, ada apa Bi Sum?"

"Itu Pak, Bu, ada yang meninggal di tetangga sebelah. Mobil ambulannya baru aja datang."

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Tetangga sebelah yang tetangga baru kita itu?"

"Iya, Pak. Yang meninggal itu istri putranya yang menetap di Kuala Lumpur. Kabarnya meninggal setelah melahirkan." Bi Sum menjelaskan.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Aduh gimana nasibku nanti?"  Lana  refleks memegang perutnya.

"Nggak usah takut, Kak. Kita pasrahkan pada Allah." Dewi menguatkan. Ia memegang punggung tangan Lana lembut.

"Ayo kita melayat sekarang. Dewi kau ikut aku, ya. Lana biar nunggu di rumah." Wirya meminta Dewi untuk berganti baju. "Bi Sum terimakasih infonya."

***

Zahid sedang membaca surat Yasin di sisi jenazah Nana ketika seorang lelaki tampan berjenggot dan perempuan bercadar memasuki ruang tamu rumah mereka. Kak Zaki mempersilakan tamu lelaki itu untuk duduk di ruang tamu yang kini telah dihampar karpet. Sedangkan si perempuan bercadar disambut Bu Mita dan langsung menuju ruang tengah tempat untuk para pelayat perempuan.

Zahid merasakan hatinya berdebar ketika perempuan bercadar itu melintas. Iya dia sangat mengenal siapa  perempuan bercadar itu. Perempuan yang selama ini dia amati gerak-geriknya, perempuan yang ia tahu betul bagaimana raut wajahnya yang cantik sedang berkonsentrasi menghafal kitab suci, perempuan yang telah berhasil  menggeser tipe perempuan cantik di matanya. Iya, perempuan itu adalah Dewi dan lelaki tadi adalah Wirya.

Sambil terus membaca Yasin, sesekali Zahid melirik Dewi yang juga langsung khusuk membaca Yasin.

"Lho, kemana dia?" Zahid melongok lebih jelas ke arah ruang tengah ketika mendapati Dewi tak lagi berada di tempatnya, padahal baru saja Ia melihat perempuan itu duduk di sebelah mamanya, kok sekarang nggak ada? Mamanya juga tak tampak di tempat duduknya. Kemana mereka?

Zahid sungguh penasaran, tapi ia menahan diri untuk tidak mencari tahu.


Cinta Jingga (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang