Zaky sedang berada di ruang kerjanya ketika gawainya berdering. Tertera nama Zahid di layar gawai.
"Hello, Zahid," sapa Zaky. Wajah sang adik kini menghiasi layar gawai lelaki itu.
"Hello, Assalamualaikum. Apa kabar, Kak?" jawab Zahid sambil tersenyum.
"Waalaikumsalam Alhamdulillah, Baik. Gimana kabarmu? Tumben nelpon?"
"Zahid Alhamdulillah baik juga. Hehe, emang Zahid nggak boleh telpon ya?" Zahid meringis mendengar kata tumben nelpon itu
"Tentu bolehlah. Ada berita apa, nih? gimana keadaan mama dan Ibad?"
"Mama dan Ibad baik, Kak. Malah anak kakak itu makin lucu dan nggemesin. Tiap hari Zahid cium-ciumin dia."
"Oya? Wah kakak jadi ingin cepat-cepat pulang, nih. Kangen berat sama Ibad."
Melalui layar gawai, Zahid dapat melihat rona bahagia di wajah Zaky. Topik tentang Ibad berhasil melukiskan senyum di wajah sang kakak yang tadi tampak lelah.
"Emm, Kak... ada yang ingin Zahid bicarakan. Kakak ada waktu?" Kata Zahid setelah beberapa lama mereka berbasa-basi. Zahid memperhatikan Zaky dengan teliti di layar gawai. Kakaknya itu sedang berada di ruang kerja.
"Untuk adik sendiri, apa sih yang nggak?" Zaky yang tadi duduk menghadap meja kerja, bangkit menuju sofa warna cokelat tua yang berada di sudut ruangan. Sambil meletakkan tubuh di sofa yang lembut, Zaky menebak-nebak apa yang akan dibicarakan adiknya. Rasa-rasanya, kok, penting sekali. Sebenarnya sekarang lelaki itu sedang memeriksa beberapa tugas mahasiswa. Tapi tidak apa, itu bisa menunggu.
Zahid tersenyum. Memang, kakaknya itu memiliki kesan sebagai seseorang berpembawaan serius namun hatinya lembut dan baik.
"Emm, gini. Kakak masih ingat Dewi?" Zahid mencoba menyusun kalimat yang pas untuk memulai pembicaraan.
"Iya ingatlah, perempuan bercadar tetangga sebelah, kan? Kenapa? Dia perempuan salehah pujaanmu, kan?"
"Ah, Kakak." Wajah Zahid merona karena tersipu malu mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak terduga itu.
Zaky terkekeh melihat perubahan mimik muka sang adik yang jelas tertangkap melalui layar gawainya. Zahid membuang muka. Uh, bisa saja kakaknya itu menggodanya.
"Ada apa dengan dia, Hid?"
"Kasihan sekali dia," jawab Zahid. "Mama belum cerita, kah?"
"Tentang rumahnya yang disegel polisi itu? Cerita, sih. Tapi nggak detail, soalnya waktu mama telepon kemarin, kakak lagi ada meeting. Sebenarnya kenapa kok bisa disegel gitu, Hid?"
Zahid menceritakan semua kejadian seperti yang ia dengar dari Bu Mita. Kecuali bagian tentang foto-foto dan secarik kertas yang dirobek Dewi. Tentu saja, ini rahasia Zahid.
"Kasihan sekali dia, Kak. Malah kata mama, Dewi pulang ke pesantrennya hanya dengan baju yang melekat di badan saja." Zahid mengakhiri ceritanya.
Zaky mendengarkan dengan khusyuk. Kemudian ia menghela napas, "Iya, kasihan sekali dia," ucapnya.
"Kakak masih ingat tentang niat mama untuk menjodohkan kakak dengannya, gimana menurut kakak? Maksud Zahid, apa kakak sudah mempertimbangkannya?" Zahid merasakan hatinya berdebar ketika menanyakan masalah ini. Ia menatap kakaknya melalui layar gawai. Ia tak menampik ada rasa khawatir kalau-kalau Zaky tenyata setuju dengan perjodohan itu. Zahid tahu, waktu di kamar Ibad beberapa waktu lalu, Zaky juga melihat wajah Dewi walau sekilas.
Sementara Zaky juga menatap Zahid. "Kakak sempat memikirkannya juga, sih." Akhirnya setelah beberapa saat, ucapan ini keluar dari mulut ayah Ibad itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Jingga (Complete)
RomanceSiapa yang menyangka jika Zahid, pemuda 28 tahun yang baru pulang dari London, lulusan magister bisnis sebuah Universitas terkenal di sana, ternyata jatuh cinta pada perempuan muda tetangga sebelah rumah yang sering dilihatnya dari jendela kamarnya...