Pagi itu Zahid sedang memperhatikan aktifitas Dewi yang sedang duduk menghafal Al-Quran di taman belakang ketika terdengar Bu Mita memanggilnya dari arah pintu kamar.
"Iya, Ma." Zahid membuka pintu.
"Itu ada seorang gadis nyariin, namanya Jeena."
"Aduuuh Mama, bilang aja Zahid nggak di rumah."
"Eh, nggak boleh begitu."
Sejak beberapa hari yang lalu, Jeena memang meneleponnya. Perempuan cantik itu meminta untuk bertemu, katanya sih karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Meski berkali-kali Zahid menolaknya, tetap saja Jeena memaksa. Dia sudah merasa tidak ada hubungan lagi dengan gadis itu.
"Mau apa sih dia." Zahid menggerutu. Tapi demi melihat wajah mamanya yang selalu pantang mengecewakan siapapun yang datang berkunjung, dengan langkah tak bersemangat ia terpaksa menemui Jeena yang duduk di ruang tamu.
"Zahid, sebaiknya kita mengobrol di kafé. Lebih leluasa lagian aku nggak enak sama mama kamu," bisik Jeena ketika Zahid telah berada di hadapannya.
"Nggak perlulah, kalau mau bicara ya udah bicara aja. Mama nggak akan gigit kamu, kok." Zahid menjawab dingin.
"Ayolah, aku tahu kafe yang buka mulai pagi, tempatnya cakep banget. Makanannya juga enak. Kamu belum sarapan, kan? Aku traktir, deh." Gadis itu mendesak.
Zahid berhitung sebentar, ia tahu sifat gadis yang sekarang ada di depannya ini yang akan terus memaksa sampai tujuannya tercapai. "Oke, tapi kita naik mobil yang berbeda, aku naik mobilku, kau dengan mobilmu."
Jeena tersenyum lebar, menggangguk. Mau naik apa saja yang penting Zahid mau, batin gadis itu.
Setelah pamit pada Bu Mita, mereka segera berangkat. Jeena memimpin di depan yang diikuti Zahid di belakangnya. Sesekali gadis itu melirik spion, memastikan Zahid terus mengikuti. Setelah beberapa lama menyusuri jalanan, Jeena membelokkan mobilnya ke kafe yang terletak di lantai dasar sebuah hotel.
"Nyaman banget kan di sini?" Jeena memilih tempat lesehan paling pojok. Ia lalu memanggil seorang pelayan.
"Kamu mau pesan apa?" tanyanya pada pemuda yang dari tadi diam saja itu.
"Terserah." Zahid menjawab singkat.
"Mas, nasi bakar arjuna dua, air mineral dua dan kopi Vietnam satu," ucap Jeena pada sang pelayan.
"Baik." Pelayan itu mencatat pesanan mereka di buku kecil yang dibawanya.
"Kamu tambah ganteng aja, sih." Jeena mengelus punggung tangan Zahid setelah pelayan tadi pergi. Reflek, pemuda itu menarik tangannya.
"Jeena, sebenarnya kamu ingin ngomong apa? Udah ngomong aja."
Bukannya menjawab, Jeena beranjak dan duduk di sisi pemuda yang sudah beberapa minggu tak menghiraukannya itu.
"Ih, jenggotmu bikin gemes." Jeena mengusap dagu Zahid yang ditumbuhi rambut tipis. "Dulu mana suka melihara jenggot gini."
Zahid menepis tangan Jeena dan beringsut menjauh.
"Jenggotmu bikin aku ingin menyentuh bibirmu, Sayang." Jeena kembali mendekati Zahid, ia hampir saja berhasil mencium pemuda itu jika saja Zahid tak sigap berdiri.
"Jeena, apa-apaan kamu!" bentak Zahid, matanya melotot. "Dosa tahu, lagian ini di tempat umum."
"Wow sekarang muna gitu, sih. Cuek aja lagi. Nggak kangen aku gitu?" Jeena kembali menarik tangan Zahid supaya duduk di sisinya. Tapi pemuda itu menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Jingga (Complete)
RomanceSiapa yang menyangka jika Zahid, pemuda 28 tahun yang baru pulang dari London, lulusan magister bisnis sebuah Universitas terkenal di sana, ternyata jatuh cinta pada perempuan muda tetangga sebelah rumah yang sering dilihatnya dari jendela kamarnya...