Happy Day

1.1K 67 3
                                    

Aku bangga bukan main melihat kaos yang ku kenakan ternyata couple dengan kaos yang dikenakan Lexa. Tapi itu hanya berlangsung beberapa detik karena ternyata itu bukan kaos couple karena semua teman teman Lexa juga mengenakan kaos yang sama.

Kaos putih bertuliskan I love Bali. Salahkan aku yang terlalu banyak berharap pada Lexa yang 99 persennya adalah cowok tidak peka. Satu persennya dia khilaf mencoba mengerti kemauanku.

Tapi tak apalah karena hari ini kami bebas dari semua kegiatan ekstrem dan kami akan mengunjungi tempat yang paling aku sukai. Pasar. Pasar tradisional di Denpasar.

Sebenarnya aku sudah heran sejak tadi kenapa tidak ada mobil yang di panaskan untuk mengangkut kami ke pasar, tapi aku malas bertanya. Aku baru tau jawabannya saat hendak berangkat dan di depan rumah hanya ada sepeda.

Aku nyaris pingsan menyadari harus mengayuh sepeda ke pasar. Demi apapun ya, meski atas nama kesehatan sekalipun, ini bukan waktu yang tepat untuk bersepeda.

Aku menatap ke arah Lexa, memberi dia kode bahwa bersepada bukanlah hal baik untuk hari ini karena baru semalam kami turun dari puncak gunung. Tapi bukan Lexa lagi jika ia sampai mengerti dengan kode kodean ku.

"Kayaknya seru ya kalo kita balapan sepeda ke pasarnya, trus yang terakhir nyampe bakal dapat hukuman." Hiena mengusulkan ide tak masuk akal.

"Boleh juga tuh." Rio menjawab antusias, yang diikuti anggukan anak anak lain.

"Kalo saran gue sih, kalian berlima aja yang balapan, gue nyari ojek atau apalah buat nyampe ke pasar." ucapku. Aku berjalan menjauhi mereka, tapi teriakan Hiena menghentikan langkahku.

"Iya, lo pergi aja Pim, dengan gitu gue bisa diboncengin sama Lexa." serunya memanas manasi.

Aku langsung menoleh ke arah mereka dan melotot hebat. "Apaan sih Na, ngeri banget ngancemnya."

Hiena tersenyum miring, ada sesuatu pasti di balik senyumannya.

Dengan sangat terpaksa, aku akhirnya ikut juga diantara mereka mengayuh sepeda dengan keringat bercucuran dan urat urat kaki sampai menegang hanya untuk memenangkan lomba ini. Bukan, aku bukannya ingin menang tapi tidak mau menjadi finalis terakhir karena siapa yang terakhir finis akan mendapat hukuman.

Tapi terlambat. Aku kalah.

Aku tidak yakin apa aku pernah menang.

"Wah Pim, lo harus melahap cabe rawit nih, and no water ya." seru Hiena dengan raut wajah sangat bahagia.

Aku melototi cabe yang di pegang Hiena. Belum memakannya saja mataku sudah berkaca kaca.

"Gak boleh minum?" tanyaku tak percaya. Hiena dengan cepat mengangguk kuat kuat.

"Ya udah buruan di makan, lo harus biasain diri buat tanggung jawab atas tindakan lo." Hiena pake acara khotbah segala.

Ia menyodorkan cabe rawit ke depan wajahku, membuatku tak bisa menolak lagi. Dengan berat hati sambil menyumpah serapahi Hiena, ku ambil juga cabe rawit sebesar jari kelingking itu.

Aku memandangi satu per satu wajah orang orang yang kebanyakan berharap aku segera mengunyah cabenya. Terakhir aku menatap ke arah Lexa, meminta bantuannya tapi dia hanya mengedikkan bahu. Ah, pacar kontrakan....

"Cabe nya juga kenapa sih besar besar banget, dapat dari mana coba?" aku memberi alasan.

"Udah deh, cepat di makannya, biar kita lanjut nih, mau hunting belanjaan kan." paksa Hiena lagi.

Iya, iya, aku makan. Dan benar saja, aku memakannya. Maksudku memasukkan cabe rawit tersebut ke dalam mulutku tapi tak sanggup untuk menelannya. Bagaimana bisa aku menelan cabe rawit sebesar kelingking?

Pacar Kontrakan (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang