-----
Sejahil-jahilnya gue,
Gue juga manusia yang punya perasaan.
-----Erin menatap layar handphonenya lagi. Pesan yang telah dikirim seseorang beberapa jam lalu masih senantiasa dibacanya. Kalimat itu. Susunan kata yang membentuk kalimat benar-benar membuatnya kesal.
Hari ini ia benar-benar merasa lelah. Tadi sore saat ia sudah berjalan jauh guna menuju halte, bus yang mengarah ke kompleks perumahannya ternyata sudah tidak memunculkan dirinya. Ia geram karena mau tak mau harus berjalan kaki sampai ke rumah.
Bahkan setelah membuat mamanya khawatir, penderitaannya tak habis sampai situ saja. Tugas rangkuman sejarah membuatnya lebih penat lagi.
Erin kembali menatap layar handphonenya. Pukul 21:24.
Waktu lo habis. Gue cabut.
Nikmatin perjalanan panjang lo ya, Sweetie.
Panggilan itu. Kata di belakang kalimat itu. Tepat di ujung kalimat sebelum titik. Sudut bibir Erin terangkat. Ada sesuatu seperti petasan yang keluar bersamaan dengan kupu-kupu dari dadanya.
Erin tersenyum tipis, namun tak lama kemudian ia menggeleng dengan keras.
Sweetie sweetie. Lo kira gue boneka?
Erin menguap pelan. Diletakannya handphone di nakas dekat tempat tidurnya sebelum akhirnya menghempaskan diri di kasur empuknya.
Lagi, ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru langit.
Pa, aku kangen Papa.
Erin menarik napasnya pelan.
Kenapa Papa lebih milih pergi ke dunia itu? Emang bakal enak ya?
Menatap kosong, Erin lagi-lagi bertanya pada keheningan. Angin yang berhembus pun tak sanggup menjawab pertanyaannya. Jawaban atas pilihan ayahnya untuk mengakhiri penderitaan duniawi dengan bunuh diri.
***
“Liat deh, Rin. Si Zidan cool banget deh, Farrel juga, Rocky juga nggak kalah ramah.” Erin mengikuti arah pandang Nayla dan mendapati anak kelas X1.8 yang sedang berolahraga di lapangan. Sejenak ia merasa kagum. Nayla ini kalau sudah melihat cogan ya seperti ini. Sangat jeli. Bahkan Nayla melupakan tujuan awalnya.
“Ya ampun, Nay. Lo lupa si Farrel kemarin tega-teganya ninggalin gue? Pulang jalan kaki. Sendiri pula.” Erin menatap gerombolan anak-anak IPS yang sedang melakukan lay-up dalam permainan bola basket.
“Iya. Iya. Gue tau kok, Rin.”
“Eh… Tapi yaa, terbebas dari sifatnya yang kadang ngeselin, si Farrel itu perfect banget tau. Coba aja kalau dia ramah. Wihhh, pasti cewek-cewek pada terang-terangan ngedeketin dia.”
“Yaelah, daripada liatin cogan mulu, mending lo liatin si Dion deh. Teladan yang baik. Itu tuh.” Erin menunjuk siswa berkacamata yang tengah mengantri giliran untuk mencoba lay-up.
“Yang mana?” Nayla memicingkan matanya, mencoba melihat sosok yang dimaksud Erin.
“Itu tuh. Di belakangnya Dimas. Nah nah, itu yang mau lay-up.”
“Hah? Itu? Yang pake kacamata? Si cungkring itu?” Nayla menatap Erin tak percaya.
“Yap. Mending sekarang lo liatnya yang begituan. Sekali-kali kan, ganti channel. Gitu-gitu dia pinter loh.” Erin terkekeh pelan. Nayla yang melihatnya lagi-lagi memutar bola matanya, malas menanggapi Erin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise
Teen Fiction[Update setiap sabtu-minggu] Semua di dunia ini memiliki takdirnya masing-masing. Seperti kita, yang berusaha mengubah meski tahu bahwa itu tak mungkin. Takdir tetap pada garisnya. Lurus, ataupun berliku-liku mengikuti skenario Tuhan. Dan kita, lagi...