Sembilan belas

37 15 20
                                    

-----
Terima kasih.
Lo udah buat gue tahu bagaimana manisnya jatuh cinta.
-----

“Gimana, Rin? Siapa?” tanya Nayla sesaat setelah Erin mendudukkan dirinya di kursi.

“Nih.” Erin hanya memberi buku tulis pada Nayla. Membuat gadis itu mengerutkan dahinya kuat-kuat kala Erin bersikeras tak memberinya clue apapun.

“Gue nggak ngerti.”

Erin menoleh menatap Nayla yang kebingungan. “Liat aja,” titah Erin pada Nayla yang membuat dahi Nayla semakin berlipat namun hanya sebentar karena setelahnya rasa kasihanlah yang mendominasi.

“Lo jadi babu lagi. Yang sabar ya, Rin.” Nayla menepuk-nepuk bahu Erin. Mencoba mengurangi beban pikiran Erin namun tak disangka ternyata Erin menghentikan aktivitasnya, balas menatap Nayla. “Gue sabar, kok. Tenang aja,” sahut Erin lantas tersenyum.

“Terus? Lo mau balas dendam lagi?”

“Hmmm. Ada deh, liat aja nanti.”

***

“Rin, lo dicariin sama Farrel,” teriak Rania yang langsung diiyakan oleh Erin. Ia beranjak dan pergi keluar kelas seraya membawa buku Farrel.

“Nih,” ucap Erin mengembalikan buku Farrel yang langsung diambil oleh pemiliknya. Farrel membolak-balikkan halaman, mencari tulisan Erin untuk tugas puisinya. Seulas senyum terlukis di bibirnya kala melihat tugasnya telah selesai.

Good,” ucap Farrel seraya mengacak-acak poni Erin, membuat gadis itu mau tak mau harus menahan degup jantung sekaligus rasa kesalnya. “Lo ya, rambut gue berantakan, nih.”

“Nggak papa. Nanti sore gue traktir, jadi jangan kabur!” ancam Farrel.

Apa? Traktir?

Mata Erin berbinar sempurna kala mendengar kata traktir keluar dari bibir Farrel. “Bener nih, Lo mau traktir gue? Tumben,” balas Erin masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.

Bye, Sweetie.” Bukannya menjawab pertanyaan Erin, yang dilakukan Farrel hanya mengucap salam lantas mencubit kedua pipi Erin sebelum berderap menjauh.

Seketika Erin merasa suhu tubuhnya meningkat. Dipegangnya kedua pipinya yang memerah. Erin mengigit bibir bawahnya, menyembunyikan kebahagiaan tiada tara yang baru saja mendatanginya.

***

Erin melihat jam di pergelangan tangannya, pukul 14:15. Sepertinya pelajaran matematika umum berjalan lebih lambat kali ini. Ia sudah bosan melihat gurunya yang hanya menjelaskan secara singkat, mencontohkan, lantas memberi soal.

Benar-benar membosankan.

Erin menarik handphonenya keluar dari laci mejanya lantas mengaktifkan data selulernya. Satu pesan whatsapp berhasil mencuri perhatiannya.

Thanks, Sweetie. Ingat! Jangan kabur karena gue mau traktir lo.

Tanpa sadar, sudut bibir Erin terangkat ke atas, memandang pesan yang baru dikirim beberapa menit lalu.

***

“Ayo,” ucap Farrel tatkala melihat Erin yang sudah keluar dari kelasnya dan langsung menarik tangan gadis itu menjauh dari kerumunan.

“Kita mau kemana?” tanya Erin pada Farrel yang menatap lurus dan tetap berjalan melewati koridor-koridor kelas, membuat beberapa pasang mata menatap mereka. Erin menundukkan kepala kala matanya bertatapan dengan mata yang menatapnya tak suka.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang