Tujuh belas

48 17 30
                                    

-----
Jangan buat gue tambah bingung.
Gue nggak tau apa lo juga ngerasain hal yang sama kaya gue.
-----

Erin mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Ia menjulurkan kepalanya, berusaha melihat keadaan di luar, sedang kedua tangannya memegang tembok. Matanya menyampaikan sinyal ke otaknya bahwa di luar aman. Tak ada ancaman atau bahaya.

Ia berbalik ke belakang, menatap kelas yang sudah sepi. Anak-anak di kelasnya memang paling gesit soal urusan pulang. Termasuk Erin. Namun kali ini Erin harus pulang lebih lambat karena ia tentu tak mau bertemu dengan cowok itu.

Bahkan ia menyuruh Nayla pulang mendahului dengan alasan ia ingin menyelesaikan novel bacaannya yang dipinjam dari perpustakaan sekolah.

Erin menegakkan tubuhnya, menarik napas dan segera melangkah keluar kelas. Koridor di sekolahnya sudah sepi. Walaupun masih ada beberapa anak ekskul yang kumpul, tapi sekolah ini sudah terlihat sepi. Hanya di lapangan dan di aula saja yang ramai.

Langkah kaki Erin membawanya sampai di pintu gerbang. Erin merapat ke tembok. Perlahan, ia mulai menjulurkan kepalanya lagi melihat keadaan di luar pintu gerbang. Mengedarkan pandangannya, meneliti ke setiap penjuru arah.

Aman, pekiknya lagi, senang.
Erin tersenyum, sore ini ia tak perlu bertemu dengan Farrel dan pulang bersama cowok menyebalkan itu. Erin merapikan roknya yang tertempel debu tembok sedikit lantas berbalik.

“Lo nyariin gue ya?” Erin berjengit kaget menatap seseorang yang telah berada di hadapannya saat ini.

Sejak kapan?

Erin mengusap dadanya sabar. Hampir saja ia mengeluarkan suara nyaringnya gara-gara cowok itu.

“Lo demen banget ngagetin orang ya?” Erin mengipas-ngipasi wajahnya. Bukan panas karena cuaca, namun memang hatinya yang panas dan harus senantiasa sabar.

Erin berkacak pinggang, menatap Farrel di depannya yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

“Kenapa? Lo nyariin gue, kan?”

“Siapa?” Erin mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut lantas ia menujuk dirinya sendiri. “Gue?” tanya Erin yang dijawab anggukan mantap dari Farrel.

“Siapa lagi?”

“Siapa bilang? Orang gue mau pulang kok. Cuma kebetulan aja gue capek, jadi yaa gue bersender di tembok dulu,” ujar Erin berbohong.

“Nggak usah bohong. Ayo pulang!” ajak Farrel. Tangannya mulai menarik tangan kiri Erin untuk mengikuti langkahnya.

“Ng.. Gue bisa balik sendiri kok.” Erin berusaha melepas tangan kirinya.

Farrel hanya menatap Erin lantas tersenyum. “Nggak ada penolakan!” Setelahnya, Farrel kembali menarik tangan Erin menuju parkiran.

“Pakai ini,” titah Farrel seraya memberikan helm pada Erin yang langsung dipakainya. “Cepetan naik.”

Dengan berat hati, Erin menaiki motor Farrel dan duduk dengan nyaman. Ralat, berusaha duduk dengan nyaman karena selama ini ia tak pernah nyaman jika akan dibonceng Farrel.

“Kita bakal main. Pegangan!” ucap Farrel sesaat setelah Erin duduk di belakangnya, menatapnya dengan raut muka kaget.

“Ogah! Gue nggak mau pegangan sama lo!”

“Ya udah terserah lo.” Farrel mulai menyalakan mesin motornya dan melaju keluar sekolah.

Ngapain gue harus pegangan? Pelan gini.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang