Dua puluh tiga

25 10 2
                                    

-----
Cinta itu berat, penuh perjuangan dalam setiap prosesnya.
Bukan hanya soal kebahagiaan semata.
-----

Keringat dingin membasahi tubuh gadis itu. Tubuhnya meringkuk dalam balutan selimut tebalnya, menutup wajahnya yang telah basah oleh keringat dengan selimut serta bantalnya.

Dalam keheningan malam, pikirannya berkecamuk. Satu per satu adegan mengerikan mulai dari mimpi buruknya, serta film yang baru saja ia tonton berputar di kepalanya menjadi satu kesatuan utuh yang terus menerus menghantuinya.

Gadis itu melenguh, menyuarakan ketakutan dalam dadanya. Berkali-kali memaksa ternyata tak membuahkan hasil apapun. Ia tetap tak bisa tidur. Menutup mata pun tetap menakutkan.

Berkali-kali pula ia berpindah posisi tidur. Bermula menghadap kanan, menjadi menghadap kiri, dan sebaliknya. Meski panas akibat tubuhnya yang tertutup selimut tebal ditambah bantal yang ia pakai untuk menutupi wajahnya tetap tidak membuat ketakutannya hilang.

Di kamarnya, ia merasa setiap pergerakannya di awasi oleh seseorang. Lampu yang sengaja tak ia matikan pun nyatanya masih belum bisa membuatnya tertidur. Sampai akhirnya pukul 01.37 ia baru bisa menenangkan pikirannya dan tertidur seperti biasa.

***

Erin bergegas bangun kala mentari telah mengeluarkan cahaya cantiknya. Namun sayang, hari ini ia kesiangan. Dalam hati, Erin mengutuk film horror yang kemarin ia tonton di bioskop bersama Farrel.

Sungguh, jika saja ia tahu film horror yang dipilih Farrel, mungkin ia akan menolaknya secara halus. Karena bagaimanapun juga, ia phobia hantu.

Hanya menonton satu film horror saja sudah bisa membuatnya tak tenang di manapun, khususnya di rumahnya. Efeknya sangat terasa, setiap ia ke kamar mandi, sendirian di kamar, ke dapur, ia selalu membayangkan hal yang menakutkan.

Ia juga merutuki setiap mimpi buruknya. Pasalnya, mimpi itu ikut ambil bagian dalam membuat ketakutan untuk seorang Erin, terkhusus mimpi buruknya kala ia baru bertemu dengan seorang Farrel Pratama.

“Gimana? Seru nggak filmnya?” tanya Farrel kala mereka sudah keluar dari gedung bioskop.

“Lain kali jangan nonton itu lagi ya,” ucap Erin seraya terus berjalan menuju parkiran.

“Rin, lo nggak papa, kan?” Farrel menatap Erin yang tampak lesu tak bersemangat. Jauh berbeda saat ia menjemput gadis itu pagi tadi.

Perlahan, tangan Farrel terulur untuk menyentuh dahi gadis di hadapannya, memastikan bahwa Erin baik-baik saja. Namun baru saja ia menyentuhnya, Erin langsung menepis tangannya kasar.
 
“Gue pengin balik,” ucap Erin lantas berlalu mendahului Farrel yang kaget atas perubahan sikap Erin.

“Lo sakit?” Farrel menghentikan langkahnya. Satu tangan cowok itu menyekal tangan kiri Erin, berusaha menghentikan pergerakan gadis itu.

“Gue cuma pengin balik.” Erin mengalihkan pandangannya pada Farrel.

Gadis itu masih bungkam, namun kedua matanya melirik sekilas Farrel yang memasang wajah bingung di tempatnya. Seketika timbul rasa bersalah di hati cowok itu.

“Maaf,” ucap Farrel sebelum menarik tangan Erin menuju parkiran dan mengantar gadis itu pulang dengan selamat.

***

Erin menghembuskan napasnya kasar kala ingatannya kembali pada hari minggu kemarin, setelah ia pulang dari bioskop. Malamnya, ia sama sekali tak menjawab puluhan telepon dari Farrel.

Sekalinya menjawab, hanya perkataan kasar yang seharusnya tak ia luapkan pada Farrel.

“Gue mau tidur, jangan pernah ajak gue nonton film kaya begituan lagi.”

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang