Dua puluh empat

33 9 24
                                    

-----
Mengatakan memang tak semudah bertindak.
Namun dalam hal percintaan, percayalah, justru kata ‘sayang/cinta’ paling sulit untuk diucapkan.
-----

“Erin, ayo sarapan dulu!”

Erin yang sedang melamun sontak kaget mendengar mamanya berteriak. Handphone yang dipegangnya nyaris terjatuh jika gadis itu tak segera meraihnya.

“Iya, Ma.” Erin bergegas merapikan seragamnya, memasukkan handphone ke dalam tas lantas segera menuruni anak tangga.

Di meja makan, Lisa sudah menyiapkan beberapa lembar roti yang disusun di atas piring, selai coklat, satu gelas susu vanila untuknya dan Erin, serta dua gelas kosong disertai teko air putih. Erin menduduki kursi begitu ia sampai tepat di depan meja makan. Perlahan, tangannya meraih dua lembar roti dan mengoleskannya dengan selai coklat kesukaannya.

Senyum terus mengembang di wajah Erin kala ia menyantap sarapannya. Erin tahu bahwa ini salah satu efek dari hubungannya dengan Farrel.

Tunggu...

Hubungan? Teman atau apa?

Jika saja boleh memilih, Erin dengan senang hati akan memilih hubungan teman atau persahabatan murni yang tentunya tanpa ada salah satu yang mencintai. Tak seperti dirinya yang mencintai sendirian.

Itulah cinta, datang tak diundang, saat disuruh pergi pun ada yang mudah ada yang sulit. Seperti Erin, ia sudah berusaha mengubur perasaannya dalam-dalam namun entah mengapa semakin ia menekannya, rasa itu malah semakin kuat.

“Uhukk ... Uhukkk....”

Suara batuk Erin seketika mengalihkan perhatian Lisa. Wanita itu segera bangkit mengambil air putih dan berjalan menghampiri putrinya.

“Makanya, kala lagi makan itu pelan-pelan.” Lisa menepuk-nepuk punggung Erin pelan. “Lagian kamu, sih! Pake senyum-senyum sendiri. Kenapa, sih? Kamu suka sama siapa? Mama tau, kok,” ucap Lisa seraya mengerling jahil pada Erin.

“Apaan sih, Ma! Nggak, kok. Erin nggak suka siapa-siapa.”

Erin masih membantah padahal sudah jelas terlihat dari pipi Erin yang mulai memerah.

“Masa? Yang bener?” Lisa mencolek dagu putrinya gemas lantas berjalan kembali ke tempat duduknya. “Mama bisa kok jadi teman curhat kamu. Nggak usah malu.”

Lagi-lagi Lisa mengerling jahil. Sedangkan di tampatnya, Erin masih mengulum senyum malu.

Cerita aja kali, ya?

Erin membatin sebelum akhirnya meletakkan kedua tangannya di atas meja. Gadis itu mulai mencondongkan badannya menatap Lisa yang tengah menguyah roti penuh antusias.

“Ma?”

Lisa menatap putrinya seraya mengunyah makanan. “Hmmm?”

“Ma, kalau misalkan Erin suka sama seseorang dan Erin pacaran, Mama setuju nggak?”

Ucapan Erin seketika membuat Lisa tersedak. Mengerti keadaan mamanya, Erin segera menyodorkan air putih yang telah dituangnya pada Lisa. “Mama nggak papa?”

Lisa menaruh gelas lantas menganggukkan kepalanya. “Pacaran?” tanya Lisa sekali lagi yang dibalas anggukan mantap dari Erin.

“Erin.” Lisa menatap Erin intens, terlihat ada perubuahan pancaran dari mata Lisa. Dan dari nada bicaranya, Erin sudah tahu bahwa Lisa akan berbicara secara serius.

“Ya, Ma?”

Lisa membelai lembut puncak kepala Erin.

“Kamu inget pesan Papa dulu?” Erin mengangguk, membuat senyum Lisa mengembang. “Mama tau kamu sudah dewasa, tentu kamu juga sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk buat kamu. Mama nggak akan memaksa kamu untuk menuruti keinginan Mama. Jika memang laki-laki itu baik buat Erin dan pantas buat jadi suami Erin....”

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang