Perasaan semangat ini semakin membuncah rasanya. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa sesenang dan sesemangat hari ini. Tak sabar menanti bel pulang sekolah.
Ajakan Mingyu tadi langsung aku iyakan. Rasa ingin bersamanya makin menjadi. Tentu saja aku sangat bahagia ketika mengajak aku jalan-jalan siang ini.
"Sungyoung, kamu kenapa senyum-senyum terus?" tanya Hyeri.
Ya ampun, ternyata Hyeri sedari tadi memperhatikanku.
"Eh! Engga ko."
"Kamu ditembak?"
"Sama siapa?"
"Cowok yang kamu suka mungkin."
"Engga ih."
"Terus?"
"Hehe gapapa."
Tidak tidak. Jangan sampai Hyeri tau! Nanti aku diledekin terus sama dia. Biar nanti saja dia taunya.
Yang kutunggu akhirnya tiba. Bel sekolah berbunyi. Secepat mungkin aku membereskan alat tulisku dan memasukannya ke dalam tas gendong.
Tring!
Uyong, aku nunggu digerbang sekolah belakang ya.
Mingyu mengirimiku pesan singkat seperti itu.
Siswa kebanyakan pulang lewat gerbang depan, karena gerbang belakang diperuntukan untuk staff sekolah dan petugas kantin. Makanya cukup sepi.
Ternyata dia udah stand by disana, diatas motor besarnya dengan jaket kulit hitam khas dirinya.
Saat kutepuk bahunya, dia menoleh.
"Hey! Udah?"
"Iya udah."
"Ya udah. Ayo naik!"
Dan aku langsung menuruti perintahnya. Motornya mulai berjalan pelan. Ya namanya juga jalan-jalan, masa harus kebut-kebutan.
"Kita mau kemana?" tanyaku.
"Muter-muter aja. Kamu mau kan?"
"Iya mau."
"Nanti sebelum pulang, kita makan dulu di alun-alun."
"Iya. Aku ikut aja."
Dia mengajakku keliling kota. Ke komplek pemerintahan daerah, ke komplek bangunan tua yang ada museum dan gereja tua. Setelah itu lewat ke taman dan perpustakaan kota.
Cuaca ga terlalu terik, seakan mengijinkan aku menghabiskan waktu dengannya.
"Uyong?" panggilnya.
"Iya?"
"Udah izin sama bunda?"
"Belum."
"Kenapa? Nanti bundamu nyariin."
"Bunda pulang sore. Nanti kalo nyampe rumah, aku bilang abis pergi sama kamu."
Lalu tiba-tiba Mingyu menepikan motornya.
"Coba sini hp kamu!" pintanya.
Dan langsung aku kasih.
Ternyata dia mencari kontak bunda dan menelponnya.
"Hallo tante, ini Mingyu."
Aku terus memperhatikannya lewat spion motor.
"Iya. Cuman mau ngabarin aja. Mungkin Uyong pulangnya agak telat hari ini. Soalnya tadi pulang sekolah, Mingyu ajak jalan-jalan."
Suaranya sangat lembut dan santun. Dia tak berhenti tersenyum ketika berbicara dengan bunda.
"Iya tante. Mingyu pasti bawa Sungyoung pulang dengan selamat. Makasih banyak tante."
Setelah selesai, Mingyu membalikan hpku. "Ga sampai satu menit untuk ngabarin bunda kamu."
"Iya iya." kataku seraya memasukan hp ke tas. "Kamu udah ngabarin ibu kamu?"
Dia menjalankan lagi motornya. "Belum."
"Tuh kamunya belum."
"Ibuku tau anaknya sering ngeliar."
Aku tertawa. Ya namanya juga Mingyu, kalo ga selengean ya ga keren.
Akhirnya kita sampai di alun-alun. Dia memarkirkan motornya di parkiran.
"Mau makan apa?" tanyanya.
Kami berjalan santai menuju ke dalamnya.
"Yang enak apa?"
"Semua enak."
"Yang paling laris?"
"Semua laris."
"Kalo gitu yang paling aneh."
"Ada. Semur baut. Mau?"
Aku tertawa pelan. "Aku ikut Mingyu aja deh."
"Uyong, boleh aku pegang tanganmu?" tanyanya tiba-tiba.
Diam sejenak. Ini kalimat singkat dan terkesan biasa, tapi mampu membuatku berdebar.
"Kalau ga boleh, gapapa. Aku hanya bertanya."
"Boleh ko!" jawabku spontan.
Dia tersenyum manis lalu mengamit tanganku lembut. Dan tepat saat kulit kami bersentuhan, aku merasa terbang.
"Biasanya kalo Minggu pagi, aku kesini sama ibu dan ayahku." kata Mingyu.
"Joging?"
"Iya. Dari rumah sampai sini."
"Kan jauh."
"Memang. Tapi kan biar sehat dan kuat." ujarnya. "Kalo kuat kan bisa lindungin orang-orang tersayang. Kaya kamu misalnya."
"Kamu sayang aku?"
"Iya mungkin."
"Ko mungkin?"
"Karena aku ngerasanya sayang banget."
"Uuuu gombal."
"Terserah Uyong mau percaya apa engga. Itu urusanmu. Urusan aku yang cuman sayangin kamu aja."
Boleh tidak aku terenyuh?
Aku tidak tahu apakah dia ini sungguhan atau hanya bualan, aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang aku tau, aku bahagia sekali.
Dia mengajakku makan ramen. Tempat duduknya di sebuah tenda-tenda kecil.
"Ramen disini enak. Ayahku bisa habis 4 mangkok sendirian."
"Iya? Itu laper apa doyan?"
"Itu rakus."
Lagi-lagi aku tertawa kecil.
"Mingyu, boleh aku tanya?"
"Boleh."
"Kamu kenapa ga masuk kelas hari ini?"
"Malas saja."
"Ih kenapa malas terus."
"Dua minggu lagi sekolah bakalan ngirim beberapa siswanya untuk lomba. Ada cerdas cermat, olimpiade fisika, kimia dan matematika."
"Lalu?"
"Aku malas jika ditunjuk untuk mengikuti lomba itu."
Hyeri pernah bilang jika Mingyu ini memang tergolong siswa pintar.
"Bagus dong. Kenapa ga mau?"
"Di sekolah itu yang pintar banyak, yang mau ikut lomba juga banyak. Cuman pihak sekolah selalu nunjuk siswa yang itu-itu aja. Aku kasihan sama yang mau ikut. Makanya mau menghindar aja."
Persaingan seperti ini sempat-sempatnya dia memikirkan anak lain. Mungkin siswa yang lain bakalan cari muka untuk bisa ikut dan memperbaiki citra mereka di depan guru-guru.
"Aku ga suka terlalu mencolok dimanapun, Uyong. Aku selalu berusaha biasa-biasa saja. Tapi justru akulah yang paling dikenal."
"Kamu istimewa berarti."
"Kalau istimewa dihidup kamu, aku ga masalah."
Dalam hati aku berkata, jika dirinya memang sudah menjadi istimewa.