Fellixu Minghao namanya. Pemuda berambut cokelat hazel yang sedang menikmati hari liburnya dengan tenang. Keputusannya untuk singgah di rumah pamannya untuk sementara mungkin ada bagusnya. Otaknya nyaris meledak setelah mengerjakan skripsi akhir mata kuliahnya. Sekarang tinggal menunggu keputusan apa ia akan wisuda tahun ini apa tahun depan.
Pemuda berdarah Cina ini menyusuri jalanan kota yang ramai. Mantelnya berkibar selagi ia berjalan. Musim gugur hampir habis, dan hawa dingin mulai menyelimuti kota. Minghao merapatkan mantelnya sambil bergidik kedinginan. Seharusnya ia pakai sweater tebal dibalik mantel, bukan hanya kemeja tipis bermodal keren saja. Tapi apalah, sudah terlanjur.
Ia menyisir poni rambutnya ke belakang. Embun nafasnya bergemul di depan wajahnya, mengganggu pandangan matanya sejenak. Tidak biasanya cuaca jadi sedingin ini. Apa jangan-jangan musim dingin dimajukan?
Minghao memutuskan untuk singgah sebentar di cafe terdekat. Keadaan berangsur menghangat dan ia bisa melepas mantelnya yang kelewat tebal. Keadaan cafe tidak terlalu ramai. Sepertinya orang-orang tidak terlalu bodoh untuk jalan-jalan di cuaca sedingin ini. Minghao beranjak setelah menyampirkan mantelnya di kursi. Ia menyusuri papan menu di dinding sambil mengetuk jarinya ke dagu.
"Americanonya satu."
Nona kasir mengangguk dan dengan sigap menekan apapun yang ada di monitor.
"Ada tambahan?" tanyanya ramah.
Hao tampak berpikir. Ada baiknya ia mengisi perutnya sebelum bertempur dalam cuaca dingin di luar. Jadi ia memesan satu porsi croissant keju. Setelah membayar, Hao duduk kembali di kursinya.
Ia menghela nafas, mengeluarkan ponsel dan membuka grupchat yang ramai sekali. Teman-teman Minghao tentu saja. Mereka meributkan sesuatu tentang liburan bersama. Namun kenyataan bahwa Minghao di luar kota merupakan masalahnya. Tiba-tiba ponselnya berdering.
"Ah halo."
"Iya, paman, aku hanya berjalan-jalan sebentar."
"Ahaha tidak."
"Aku akan segera kembali setelah ini."
"Santai saja. Baiklah."
Tak terduga, Pamannya malah mencarinya. Padahal tadi ia sudah minta ijin pada Bibi. Apa bibi lupa menyampaikannya pada Paman? Minghao hanya menggerakkan bahunya. Tak lama pesanannya datang. Segelas Americano hangat dan sepiring croissant keju. Minghao mengucapkan terima kasih dengan sopan lalu mulai menyesap minumnya.
Rasa hangat yang menyenangkan mengalir membasahi kerongkongannya dan merambat ke seluruh tubuhnya. Jarang ia bisa ke cafe, semenjak nyaris depresi di kos-kosan bergelut dengan skripsi sialan. Hao mengambil segigit penuh croissant di mulutnya.
Satu hal yang pasti dipikirkan Hao.
Enak.
Selagi menikmati sarapannya yang terlambat, Hao menoleh ke arah televisi di sudut ruangan. Seorang reporter yang tak hentinya mengoceh menginformasikan akan ramalan hujan badai di musim gugur ini.
Haha. Lucu.
Namun tak lama, televisi itu mati dan lampu mulai berkedip. Hao tersedak ludahnya sendiri. Pengunjung cafe mulai bergumam panik. Suara gemuruh muncul, menggetarkan semua benda di sekelilingnya. Orang-orang mulai menjerit. Hao menyumpahi segala sesuatu yang terjadi, dan segera meraih mantelnya. Ia mengintip dari kaca pintu dan melihat keadaan luar cafe yang diguyur hujan deras.
Oh mengagumkan. Apalagi sekarang?
Suara gemuruh terus memekakkan telinga, membuat Hao harus menggunakan kedua tangannya untuk menutupi telinga. Ia berjongkok di sebelah sofa, melindungi telinganya dari kemungkinan tuli mendadak. Setelah itu, suara gemuruh hilang. Keadaan sepi. Sangat sepi malah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PROTECTOR - Disclosure of Identity | Junhao[✔]
Fanfiction[Beberapa chap mungkin tidak untuk manusia normal] "Kau milikku dan aku milikmu. Kita akan terus begini sampai Fortuna menghisap bisa ularnya Medusa." "Tunggu, apa?" Hao tidak pernah tahu kalau kelakuannya saat itu membuatnya harus terlibat dalam pe...