Lhord, not Lord

1.5K 263 11
                                    

Demi tai kucing, Minghao tidak akan pernah mau percaya lagi dengan semua perkataan Daze. Si banci satu itu pintar sekali membual, meyakinkan orang hanya karena ia sinting. Siapapun tentu tidak mau berurusan dengan orang sinting. Mereka punya khayalan berlebih tentang perut ikan dan tai kucing di sandal. Tapi Daze adalah satu-satunya orang yang harus mereka percaya, setidaknya untuk saat ini. Ia lebih tahu tentang segalanya di samping Flop yang keadaannya makin berantakan.

Minghao nyaris mati karena efek samping yang tidak dijelaskan dari awal oleh Daze. Mata panas, tenggorokan kering, dada sesak, mual, kepala nyaris meledak. Rasanya seperti siksaan! Seolah ada sumo tak tahu diri yang menduduki tubuhnya sambil memotong berbagai macam bawang dan cabai, ditambah bau badan menyengat dan ia bernyanyi dengan suara mirip keledai sekarat. Agak berlebihan sih, tapi seperti itu rasanya.

Mood Minghao sudah menjadi lebih buruk. Mereka tidak menginjakkan kaki ke restoran atau sekedar cafe. Apa mereka tidak merasa kelaparan barang sedikit pun? Tak sengaja, Doug menubruk punggung Hao, menyebabkan pemuda kurus itu terdorong ke depan dan nyaris menabrak pintu. Hao mendelik horror sambil mendesis.

"O-oh, maafkan aku Minghao!" seru Doug cepat sambil membungkuk.

Minghao menghela nafasnya. Ia memijat pelipisnya sebentar lalu menepuk punggung Doug sambil mengucapkan maaf.

Mereka kini berada di sebuah tempat penginapan sederhana namun terbilang mewah. Coups dan Hannie menyusul Daze yang tengah berada di meja resepsionis. Rupanya mereka berdua juga kurang percaya dengan Daze setelah apa yang terjadi. Hari telah menginjak sore ketika mereka sampai. Dan butuh setengah jam sendiri untuk bisa bebas dari segala efek samping itu.

Hannie melambaikan tangannya, menyuruh yang lain masuk. Karena sebenarnya Daze menyuruh mereka menunggu di luar alih-alih menunggu di ruang utama. Kan gila. Orang-orang pasti berpikir bahwa kumpulan pemuda ini sedang berupaya merobohkan gedung penginapan dengan melakukan demo.

Dan Hao harus benar-benar makan sekarang.

Udara hangat nan nyaman langsung menyambut mereka. Bau-bau manis hutan pinus mengudara, memenuhi indra penciuman mereka. Dinding yang dicat seolah terbuat dari kayu, dan segala perabotan manis yang membawa mereka ke suasana pedesaan yang menyenangkan. Mereka duduk di sofa yang tersedia. Flop berdeham paksa untuk menyuruh seorang pemuda berambut pirang kotor menyingkir dari duduknya. Si pemuda menyingkir sambil membatin.

Hannie datang sambil membawa banyak kunci kamar. Ia meletakkannya ke atas meja.

"Kami memesan 6 kamar. Satu kamar 2 orang, mungkin ada yang bertiga. Pilih random saja. Kita berada dalam satu lorong yang sama," kata Hannie.

Yang lain mulai ribut memilih pasangan kamar dan rebutan kunci kamar. Sampai si petugas mendesis menyuruh mereka diam.

"Kau ikutlah denganku, Hao," titah Gyu. Minghao hanya mengangguk saja. Tenaganya tidak cukup untuk sekedar bilang 'hm'.

Mereka mulai beranjak saat Daze kembali bersama Coups. Ia berkata bahwa besok mereka check out paling lambat pukul 12 siang, atau diusir. Gyu berjalan di samping Hao sambil mendentingkan serenteng kunci. Kenapa dia bawa banyak sekali kunci Hao tidak tahu, atau kenapa dia harus membuat suara berisik dengan kunci-kunci itu. Hao melirik terganggu, berusaha supaya Gyu peka tanpa harus ada adu kelahi.

"Ini kunci kamar, kunci kamar mandi, kunci lemari, kunci jendela, kunci brankas, dan kunci kulkas," sahut Gyu.

Minghao mengangguk. Walau Gyu masih berisik bermain-main dengan kuncinya. Ketika Daze menekan tombol lift, Flop berdeham meminta perhatian.

"Hei, Daze. Kupikir aku harus pulang," katanya. Daze membuat wajah kecewa.

"Ada apa?"

"Yah, well, istriku sendirian di rumah. Dan buat apa aku tidur di sini kalau aku punya rumah?" jawab Flop.

THE PROTECTOR - Disclosure of Identity | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang