*Rey’s POV*
“Yaudahlah ya gausah ngomongin gue sama Imam, jadi inget anak orang aja gue” kata gue sambil tertawa, sebetulnya gue udah netesin air mata karna gue inget seseorang.
Perkataan om Kev hampir sama persis dengan yang dulu. Bedanya, dulu laki-laki itu bukan Imam, tapi laki-laki yang baru aja maki-maki gue. Dada gue tiba-tiba sesak.
“Lo kenapa deh?” kata om Kev memegang lengan gue, gue melihatnya sekilas lalu menunduk.
“Rey, udahlah” kata om Kev. Gue sedang berusaha menghentikan ini semua, tapi rasanya susah sekali. Air mata yang gue tahan selama berbulan-bulan akhirnya tetap saja keluar.
Kata-kata om Kev yang pernah diucapkan hampir 2 tahun lalu kembali muncul di otak gue. dimana semuanya masih indah di mata gue.
Sayangnya semua itu hanya masa lalu. Masa lalu yang terlalu indah buat gue lupain. Dan yang sekarang sedang gue rasakan lagi. Walaupun gue terlalu ragu untuk mengakuinya, bahkan tidak mau.
Iya. Iya gue memang dekat dengan Imam, gue merasa ada hal yang beda di antara gue dan Imam, dan itu gak hanya sekedar teman biasa. Rasa yang dulu pernah gue rasain dengan orang lain.
Tetapi gue takut, takut dengan apa yang gue hadapi sekarang. Rasa trauma itu masih membekas, yang pada akhirnya gue terlalu takut dengan perasaan gue sekarang ini.
Takut untuk kehilangan lagi, takut untuk merasakan sakit itu lagi.
Dan tiba-tiba, om Kev memeluk gue, entah untuk keberapa kalinya dia dengan sabar terus memeluk gue dan mengizinkan gue menangis di bahunya untuk mengeluarkan semua emosi gue.
Gue meremas baju om Kev. Mencoba menghentikan ini semua. Tapi selalu gagal.
“Maaf Rey” katanya sambil mengelus kepala gue. Dia seperti merasa bersalah karna mengingat hal yang seharusnya gak gue ingat lagi.
Gue hanya menangis, terus mengeluarkan semua perih itu melalui air mata. Perih yang gak akan ada habisnya karna gue enggan untuk menghapusnya. Karna gue udah terlalu nyaman dengan rasa perih ini.
“Iya gue sadar kepo gue emang keterlaluan, tapi gue harus tau apa yang lo lewatin, gue gabisa menghidar dari janji itu walaupun lo udah di luar jangkauan gue” katanya, pelukannya mengerat.
“Gue janji, gue gaakan ngebuat lo nginget itu lagi” katanya lagi.
“Lo itu aneh” kata gue dengan suara yang tercekat “Sedetik yang lalu lo marah-marah. Sedetik kemudian lo malah jadi kaya gini” lanjut gue. Tetapi om Kev hanya diam mendengarkan ocehan gue.
“Iya, iya gue deket sama Imam, tapi gue takut, takut buat mengakuinya, karna gue takut kehilangan lagi. Trauma ini masih ada, masih membekas. Bahkan perkataan Imam dan Greg hampir sama” kata gue
“Janji yang mereka ucapkan hampir sama. Dan gue takut, kalau gue nerima Imam, bisa jadi hal yang dulu gue rasain kembali gue rasain. Tapi kalau gue menghindar dari dia. Gue takut gue akan menyesal kaya dulu saat Greg datang” lanjut gue
“Setidaknya lo gak akan ngerasain keduanya kalau lo memilih untuk sama gue” katanya. Tangisan gue seketika berhenti saat dia bicara seperti itu. Gue pun langsung ngelepasin pelukannya dan melihatnya.
“Maksudnya?” kata gue sambil menghapus air mata yang ngebasahin pipi gue. “Gue.. niat buat nikahin lo” katanya. Gue sedikit kaget. Atau mungkin kaget banget dengan perkataannya.
Gue pun menamparnya “Anjir apa lu Rey” katanya sambil memegang pipinya “Sorry..” kata gue, jantung gue berdetak semakin cepat.
Gue pun menamparnya sekali lagi “Rey!” teriaknya. “Lo kenapa sih?!” kata gue. “Kenap...” satu tamparan lagi melayang “Lo mabok?!” teriak gue.

KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
Teen FictionTerkadang, gue suka mengeluh akan hidup gue yang menurut gue sama sekali tidak ada hal yang menyenangkan. Itu takdir. Iya. Lelaki ini selalu berbicara itu ke gue. Takdir. Sebetulnya benarkah ini takdir gue? Atau takdir gue yang sebetulnya indah. Be...