•11. Haru dan Kekecewaan•

62 7 0
                                    

Detik yang amat berharga. Sebagaimana waktu merubah kehidupan kita disetiap harinya. Kini, waktu juga yang bertindak atas izin Sang Maha Kuasa untuk membuat skenario haru di atas perpisahan dan kekecewaan.

••••

"Jar, ayo berangkat!" Seru Maroon yang sudah berdiri tegap didepan indekos.

"Yok!"

Maroon dan Fadjar berjalan menuju sekolah, mengingat hari ini adalah hari dimana seluruh siswa-siswi akan menaruh tangisan yang langka. Maroon disapa hangat oleh Pak Satpam dengan melemparkan senyumannya.

"Pagi yang hebat." Batin Maroon.

Maroon mengecek lapangan upacara, yang sudah di atur sedemikian rupa konsepnya. Ternyata baik-baik saja, gambar tidak ada yang rusak. Terlihat masih ada sisa-sisa kapur yang terbuang dimalam kemarin.

"Gimana, Roon? Sudah disiapkan konsepnya?" Tanya Bu Tri yang datang dari ruang Kepala Madrasah. Ibu Tri ini adalah istri Bapak Kepala Madrasah.

"InsyaAllah. Cuma satu kendalanya, Bu." Ujar Maroon di hadapan Bu Tri.

"Apa?"

"Maroon sulit cari Drone untuk pengambilan gambar yang sempurna." Ujar Maroon yang sedikit menundukkan kepalanya.

"Oh, iya-iya. Enggak apa-apa kok. Nanti kita beli." Seru Bu Tri yang membuat suasana Maroon sedikit merenung, karena satu permintaan Bu Tri belum terpenuhi.

"Makasih ya, Bu." Maroon sedikit senyum, mulai bangkit rasa percaya diri.

"Iya." Bu Tri tersenyum "sekarang kamu keatas, coba atur keadaan di aula, kondisikan anak kelas 12." Bu Tri kembali menginterupsikan Maroon untuk mengkondisikan keadaan di aula.

"Siap, bu!" Maroon dengan antusias membalas interupsi dari Bu Tri.

Fadjar yang sedang diam dan melihat karyanya, tiba-tiba disambar dengan pertanyaan dari sang guru.

"Jar, bukannya dilapang bawah?!" Tanya guru dengan sedikit sinis, karena mungkin ia mempunyai konsep sendiri di lapangan bawah.

"Iya, pak. Saya, Maroon dan yang lain kemarin malam ngerjain ini." Balas Fadjar yang mendekati guru tersebut.

Terlihat Maroon yang sedang memantau percakapan Fadjar dengan Guru tersebut di aula.

Pak Guru pun menggarukkan kepalanya yang tidak gatal itu, sembari memperlihatkan wajah yang pura-pura bingung. "Bisa buat lagi di lapangan bawah, gak?" Tanya Pak Guru.

"Disini emangnya kenapa, pak?" Tanya balik Fadjar.

"Udah, coba buat lagi di lapang bawah!" Pak Guru sedikit mengeraskan nada bicaranya, seakan-akan pertanyaan Fadjar di alihkan agar tidak terjawab.

"I-iya pak." Balas Fadjar sembari menggigit bibir bawahnya. Fadjar sedikit malu, karya yang sudah ia gambar di lapangan upacara sudah banyak di lihat seluruh siswa-siswi, hanya menunggu Tempo waktu untuk pemotretan. Namun, Fadjar disuruh menggambar kembali di lapang bawah. Pak Guru pun meninggalkan Fadjar yang sedang melihat karyanya di lapangan upacara.

"Ada apa, Jar?" Tanya Maroon yang datang menghampiri dari arah belakang Fadjar.

"Kita udah setengah mati gambar ini, malah disuruh buat gambar lagi di lapang bawah, secara gak langsung, pak guru gak setuju tempatnya disini." Fadjar sudah sedikit kesal.

"Yaudah, gini deh. Berhubung masalah kita satu belum ditemukan, kita gambar aja dulu, turuti apa mau Pak Guru. Lagian kita mau potret pake apa? Kamera? Siapa juga yang sanggup naik gedung payah itu cuma karena fotoin kita. Yang ada jatuh dan mati konyol." Maroon menepuk pundak Fadjar. "Masih kuat buat gambar lagi, gak?" Tanya maroon.

Mobilitas Sang WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang