Part 9

509 37 3
                                    

Kata-kata yang diucapkan Bela masih terus menggema di telingaku. Hatiku benar-benar sakit. Selama ini aku mencari Bela, tapi hanya rasa sakit yang kudapatkan. Meskipun begitu, aku tetap bertekad untuk memiliki Bela bagaimanapun caranya.

Hari demi hari kulewati dengan rasa penyesalan yang begitu besar. Tapi tidak dengan hari ini. Hari dimana semua siswa sudah lulus sekolah.

Aku melihat Bela di jemput oleh ayahnya di depan pintu gerbang sekolahan. Mereka berdua tampak sedang membicarakan sesuatu yang penting. Karena rasa penasaran aku mencoba bersembunyi di balik pohon yang berjarak dekat dengan pintu gerbang.

"Bela, nanti malam kau akan tau sendiri. Tidak perlu penasaran!" ujar ayahnya sembari membelai lembut rambut Bela.

"Baik yah, nanti Bela akan bersiap-siap. Tapi ayah juga jangan sampai lupa memesankan taxi untuk Bela." jawab Bela.

"Pasti sayang! Yasudah, ayah pergi dulu. Kamu jangan lama-lama kumpul sama teman, cepat pulang." pamit ayahnya.

"Okay..." jawab Bela sembari mencium pipi kanan ayahnya.

Aku sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan oleh Bela dan ayahnya.

"Apa yang akan mereka lakukan nanti malam? Aku harus tau!" gumamku pelan sembari pergi dari tempat itu.

***
Acara kumpul bersama teman-teman pun sudah usai. Aku berusaha mengejar Bela, tapi tak ada jejak yang bisa kutemui untuk mencari Bela.
Saat itu aku sangat emosi dan menyalahkan diriku sendiri. Aku bergegas mengambil motor di parkiran untuk segera pulang ke kos-kosan sebelum amarahku semakin tinggi.

Saat di perjalanan aku melihat Bela sedang berjalan kaki sendiri. Kupikir ini adalah kesempatanku untuk bisa menyakinkan Bela bahwa dia sebenarnya juga cinta kepadaku.
Tapi tiba-tiba ada sebuah motor yang lebih dulu menghampiri Bela. Motor merah yang dinaikki oleh seorang cowok yang lumayan tampan.

"Hay Bel!" sapa cowok itu.

"Hay!" jawab Bela dengan senyuman manis yang membuatku kesal.

"Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Apakah kau bersedia untuk naik ke motorku?" tanya cowok itu.

"Tidak!" jawab Bela yang membuatku senang.

"Bagus, Bel! Kau hanya milikku." gumamku pelan dari jauh.

"Tidak akan menolak, hahahahaha!" lanjut Bela dengan tawa yang terbahak-bahak.

Aku sudah tidak bisa menahan amarahku. Aku menghampiri mereka dan memukul cowok itu sampai dia jatuh dari motornya.

"Alex! Apa yang kau lakukan!" teriak Bela yang tak kuanggap.

Aku terus memukuli cowok itu dengan sekuat tenagaku. Sampai cowok itu mengeluarkan banya darah di tanganku. Aku tidak sanggup menahan nafsuku untuk menghisab darah itu.
Aku menggigit lehernya dan menghisab darahnya, tapi hal itu tidak begitu memuaskan bagiku. Bela menghentikan tindakanku.

"Alex! Cukup! Dasar Vam..." teriak Bela yang terhenti ketika aku melepas cowok itu dan melihat ke arahnya.

"Apa yang akan kau katakan Bela?" tanyaku pelan.

"Pergi kau!" bentak Bela mengalihkan pertanyaanku.

"Baik, aku akan pergi. Asal kau jawab pertanyaanku. Bagaimana perasaanmu kepadaku Bela?" tanyaku lagi.

"Kubilang pergi Alex!" bentak Bela yang membuatku sangat marah.

"Bela Lucidus! Jawab perranyaanku!" bentakku sembari memegang pipinya dengan kuat.

"Aaagh... Sakit Alex! Lepas!" rintih Bela.

Aku melepaskan tanganku dan beranjak pergi meninggalkannya. Aku merasa bersalah ketika melihatnya merintih kesakitan sebab tindakanku.

"Kenapa kau pergi?" teriak Bela yang menghentikan langkahku sejenak.

Kupikir aku memang tidak pantas untuknya. Aku terlalu kasar, tak seharusnya aku menyakitinya. Aku harus pergi meninggalkannya. Kulanjutkan langkah kakiku.

"Dari dulu sampai saat ini aku masih tetap mencintaimu Alexander John William! Tapi aku sadar, bahwa kita tidak akan pernah bisa bersatu, karena kita berbeda. Oleh sebab itu, aku mencoba untuk melupakanmu. Walaupun yang sebenarnya terjadi, aku tetap tidak bisa!" lanjut teriak Bela.

Aku berhenti melangkah dan memutar balik badanku.

"Ini yang kunanti Bela! Kau mencintaiku dan aku mencintaimu. Kita bisa bersatu seperti halnya ayah dan ibuku, asalkan kau mau menjadikan perbedaan ini sebagai kekuatan hubungan kita!" jawabku.

"Itu tidak mungkin bisa Alex!" ujar Bela sembari menangis tersedu-sedu.

"Jangan menangis Bela, kita pasti bisa bersatu!" teriakku sembari melangkah mendekatinya lagi.

"Be... La. Dia... Ak...kan. Me... Nya... Kiti... Mu!" ujar seorang cowok dengan terbata-bata.

Cowok yang tengah berbaring kesakitan setelah kuhisab darahnya. Bela memandang cowok itu dan berhenti menangis. Tetapi aku terus melangkah mendekatinya. Sebelum langkahku sampai pada Bela, cowok itu memuntahkan darah dan memejamkan matanya. Seraya Bela berlari menghampirinya.

"Renal, bangun Renal! Kita akan bertunangan nanti malam. Kumohon padamu, bangun Renal! Renaldi......!" teriak Bela yang disertai tangisan penyesalan.

"Apa yang kau katakan Bela? Kau mencintaiku." ujarku.

"Iya! Aku memang mencintaimu. Tapi dia adalah masa depanku! Dan kau adalah seorang vampir biadab! Kau menghancurkan kehidupanku!" amarah Bela memuncak.

"Kenapa kau seperti ini Bela!" tanyaku.

"Hisab darahku Alex! Bunuh aku! Kau telah merusak semua masa depanku. Bahkan sesuatu yang akan menjadu kebahagiaanku di hari yang akan datang!" teriak Bela sembari mendekatiku dan memberikan lehernya untukku.

Aroma darah yang begitu wangi menggugah nafsuku. Tapi aku tidak akan pernah mungkin menyakiti Bela, karena dia alasanku melawan semua keputusan ayahku untuk menikah dengan vampir.

Aku berlari menghindar dari aroma darah itu menuju motorku. Aku menarik gas motorku untuk kembali ke kos-kosan.

Hanya butuh waktu 20 menit untuk aku sampai ke kos-kosan. Aku membuka pintu dan melempar tas, jaket, dan topiku ke lantai. Aku berjalan menuju cermin riasku, disana aku bisa melihat wajahku.

"Kenapa kau menderita Bela! Aku melakukan ini semua bertujuan agar kau bisa bahagia bersamaku!" gumamku dengan kencang setelah berkaca di cermin.

"Aaaaggggh!" teriakku sembari menghampas semua barang yang ada di meja.

Aku berjalan menuju ranjang dan membanting tubuhku dengan kuat.

"Kau harus bisa bahagia bersamaku Bela!" gumamku sembari membayangkan Bela bisa hidup bahagia bersamaku, sama halnya dengan kedua orang tuaku.

"Hahahahaha! Pasti bisa Bela." teriakku.

Aku merasa hidupku hanya terpenuhi dengan satu tujuan, yaitu memiliki Bela. Aku merasa menjadi vampir yang lemah. Tanpa kusadari air mataku kembali menetes.

"Apa ini, Alex! Tidak." ujarku sembari menghapus air mata itu.

***

Jeng-jeng-jeng
Maaf kalo uploadnya cuma dikit-dikit.
Soalnya aku masih masa-masa ujian.
Ini aku sempetin nulis kalau pas gak ada kerjakan dan malas belajar, hehehe.

Jangan lupa vote vote vote!
Apa sih susahnya ngevote? Kan tinggal mencet.

Thank's
Shelfina

I'am VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang