Semenjak kejadian Genta tiba-tiba muncul di hadapanku, namaku melejit bak roket aku tidak tahu istimewa kejadian di hari itu apa tapi yang ku dengar pesona Genta lah yang membuat semua orang menatap iri. Se-istimewa itu kah Genta?
Sudah seminggu aku bersekolah menempati kelas X-3 dan kalian tahu? Aku sebangku dengan Inggita, gadis berkaca mata minus itu langsung mengajakku duduk saat ia tahu aku sekelas dengannya. Tidak menolak, aku menerima saja ajakannya mungkin berteman dengan seseorang yang cerewet bisa mengubah sedikit diriku yang tertutup ini.
"Lo suka makan apa?"
"Apa saja, asal makanan"
Inggita dan aku sedang berjalan menuju kantin, seperti biasa kantin memang tempat yang tidak bisa sepi di jam istirahat. Antrian panjang di setiap stand mau tidak mau memaksa aku dan Inggita ikut antri juga. Setelah bersusah payah akhirnya kami bisa mendapatkan semangkuk bakso, Inggita memilih tempat duduk yang berada di tengah kantin katanya strategis tapi itu hanya alasan karena aku tahu hanya tempat itu saja yang kosong.
Tengah asik menyantap bakso, tangan Inggita terus menyenggolku awalnya ku abaikan tapi lama-lama dia membuat ku kesal karena saat ingin menyantap, pentolan bakso ku jatuh. Aku langsung menatapnya dengan tatapan "Ada apa?".
"Di depan lo Nay!"
Aku menatap dan sosok yang tak pernah ku lihat seminggu ini muncul di hadapanku.
"Oh...Genta"
Aku kembali fokus menyantap bakso sampai ada tangan yang begitu kurang ajarnya tiba-tiba menarik mangkok ku.
"Maaf Nay tapi kayaknya ini cara yang tepat biar kamu bisa sedikit merhatiin orang yang tengah bicara"
What?? Dia bilang apa barusan?? Merhatiin?? Siapa yang harus ku perhatikan?. Aku kembali menarik mangkuk bakso ku tapi Genta menahannya.
"Pulang nanti tunggu aku di depan gerbang, ingat yah Nay"
"Untuk apa?"
Genta tidak menjawab melainkan langsung pergi, dia aneh untuk apa aku menunggunya? Ada-ada saja.
"Gila Nay itu itu mah kode keras"
"Kode keras apaan Git?"
"Kak Genta kayaknya suka sama lo"
Aku bahkan tidak berpikir kalau Genta menyukai ku dan aku juga tidak punya niat untuk menyukainya.
"Paling dia itu cuman kakak kelas yang modus sama adek kelas Git"
Yah jelas aku berani mengatakan hal seperti itu, mana ada seseorang yang hanya bertatap sekali dua-kali langsung suka? Itu hal konyol.
"Nggak apa-apa gua di modusin yang penting yang modusin itu Kak Genta, rela gua"
Aku terkekeh mendengar ucapan Inggita, setelah selesai aku dan Inggita langsung kembali ke kelas.
***
Jam terakhir adalah matematika aku berusaha untuk memperhatikan apa yang di jelaskan oleh bu Maretha tapi rasanya sulit karena saat ini aku di kuasai oleh rasa kantuk dan bosan.
Bel berbunyi yang menandakan sudah saatnya siswa untuk pulang ke rumah, entah kenapa mendengar bel seperti itu membuatku merasa senang dan yang ku lakukan sekarang adalah buru-buru berjalan menuju parkiran.Aku mengambil sepeda kesayangan yang selalu aku pakai ke sekolah, meskipun harus bersusah payah mengayuh toh rasanya menyenangkan saja.
"Naya lo mau pulang? Tadi kak Genta nyuruh lo nungguin dia kan?"
"Iya aku tahu Gita, tapi aku nggak mau nunggu dia siapa tahu dia hanya main-main saja. Aku duluan yah Git buru-buru soalnya"
Aku bohong, aku tidak buru-buru sebenarnya aku hanya menghindari pertanyaan beruntun yang akan Inggita berikan. Sepertinya aku belum terbiasa dengan orang se-cerewet dia. Ku kayuh sepedaku meninggalkan sekolah, rasanya menyenangkan saja mengendarai sepeda karena tidak terjebak dengan yang namanya macet.
Rasa menyenangkan itu sirna saat rantai sepedaku putus. Akhir-akhir ini rantai sepedaku memang sering putus dan satu-satunya yang bisa memperbaikinya adalah Bang Pito, - tukang bengkel depan kompleks- salahku karena tidak ingin berguru padanya cara membetulkan rantai sepeda yang putus dan satu-satunya pilihan saat ini adalah yah jalan kaki sambil membawa sepeda.
"Kamu disini ternyata"
Suara bariton yang terdengar membuat ku segera menoleh, dia Genta!!.
"Kenapa kamu nggak nungguin aku Nay?"
"Yah karena aku nggak pernah bilang iya untuk menunggu kak Genta"
Dia tertawa dan aku heran, letak lucunya dimana sih?.
"Jangan manggil kak, panggil Genta saja"
Aku mengiyakan saja lalu ku dorong sepedaku menjauh darinya tapi lagi-lagi dia menahan sepedaku.
"Kenapa sih?!"
Kataku kesal, please deh matahari udah terik kayak gini dan kamu mau membuat aku kesal Ta?. Bukannya cemberut dia malah tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi. Genta lalu berjalan menghentikan sebuah taksi.
"Masuk Nay"
Aku menolak tapi dia memaksaku bahkan mendorong tubuh ku masuk ke dalam taksi.
"Genta sepedaku gimana?"
"Dia aman sama aku Naya, Peterpan nggak bakalan bikin peri Tinkerbell kepanasan"
Dia menutup pintu lalu mengatakan kepada supir taksi.
"Pak perumahan Griya Indah blok B no. 9 yah, oh yah hati-hati pak soalnya bapak lagi bawa peri saya"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey
Teen FictionAkan ku kenalkan kalian pada Genta ku asal janji jangan jatuh cinta padanya karena dia milikku meski semesta tak mendukung