"Cie yang di anterin Genta pulang, hubungannya udah sejauh mana dek?"
Pertanyaan pertama yang Ibu lontarkan saat aku masuk ke dalam rumah.
"Cuman temen kok Bu"
"Ah masa iya sih cuman temen ibu kok nggak yakin, Genta itu pria yang baik waktu ingin ngajak kamu jalan aja dia sampai minta izin ke ibu dulu terus Ibu suka gara-gara dia taman rumah kita penuh bunga"
"Ya udah Ibu aja yang pede-kate sama Genta yah, Naya capek pengen istirahat"
Aku mencium pipi Ibu lalu masuk ke dalam kamar kalau tidak bisa-bisa ibu akan terus menggodaku. Aku segera membersihkan diri memilih piyama untuk tidur, untung saja tidak ada PR jadi sepertinya malam ini aku akan tidur awal. Baru saja merebahkan diri dering telpon membuat ku segera bangun meraihnya di nakas.
"Nomor baru?"
Aku memilih tidak mengangkatnya, namun kedua kalinya hp ku kembali berdering dengan nomor yang sama kali ini tidak ku abaikan aku memilih untuk mengangkatnya siapa tahu Inggita gadis itu suka sekali mengganti nomornya.
"Iya halo"
"Naya yah?"
"Kamu yah Genta?"
"Aku nggak tahu kalau kamu sehapal itu dengan suaraku"
Aku kemudian memutar mata malas, aku yakin diseberang sana ia pasti sedang tersenyum dengan pedenya.
"Dapat nomorku darimana?"
"Tadi aku nggak sengaja belanja terus kembaliannya ada uang seribu disitu ada nomor ya udah aku hubungin aja eh tau-taunya nomor kamu, semesta kayaknya benar-benar merestui kita yah Nay"
"Bohong banget, mana ada nomorku nyasar kesitu"
"Hahaha kamu ini tidak percaya sekali dengan yang namanya keajaiban Nay, lain kali nanti ku buatkan banyak keajaiban untukmu biar kamu percaya kalau yang namanya keajaiban bisa datang dengan cara yang nggak kamu duga"
"Jadi kamu nelpon cuman buat ngejelasin keajaiban sama aku?"
"aku nelpon karena rindu Nay tapi sekarang sudah terobati, kamu mau tidurkan? Selamat tidur Peri Tink"
Tuuut
Sambungan telpon di putus, tanpa aku sadari seulas senyum terukir di bibirku. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku terhadap Genta, aku mencintainya? Arkh rasanya terlalu dini menyimpulkan hal seperti itu lalu apa? Di sangkal bagaimana pun selalu ada rasa nyaman bersamanya.
"Ayah, menyukai seseorang itu rumit yah"
***
Inggita tidak henti-hentinya tersenyum tiap kali memandangi handphonenya, aku yang menatapnya sedari tadi sedikit ngeri pasalnya sudah 30 menit yang lalu ia tersenyum."Fix, Inggita sudah gila"
"Lo pasti ngira gua gila kan?"
Heol!
"Kamu kok bisa tahu? Kamu bisa baca pikiran yah?"
Inggita berdecak sambil menepuk-nepuk pundakku layaknya orang tua yang tengah memberi nasihat kepada anaknya.
"Naya Rinjani, gua nggak segeblek itu apalagi cuman liat tatapan lo yang seolah-olah bilang gua itu gila"
"Hehehe, kamu pintar yah Git nggak sia-sia ternyata kamu duduk sama aku"
"Mulai dah!"
Aku mengalihkan pandangan kebelakang dan bangku Radit masih kosong.
"Danu, Radit masih sakit yah? Kok belum masuk sekolah?"
"Tahu tuh bocah, dari kemarin gua telpon handphonenya nggak aktif"
Aku sedikit cemas,nggak seperti biasanya Radit seperti ini. Radit memang tukang bolos tapi ia selalu masuk sekolah hanya untuk sekedar melempar bebas tasnya lalu melenggang pergi entah kemana.
Aku membetulkan posisi duduk karena Bu Iva sudah masuk, pelajaran hari ini adalah Bahasa Inggris entah darimana niat baik ku timbul, sengaja ku salin semua apa yang bu Iva jelaskan bukan untukku tentunya, tapi untuk Radit bagaimana pun si Joker harus tetap belajar!
Kurang lebih 2 jam pelajaran berlangsung sebuah pengumuman terdengar kalau murid akan di pulangkan lebih awal karena guru sedang mengadakan rapat antar sekolah. Semua teman kelasku bersorak gembira, dan dengan gerakan cepat langsung menyimpan buku dan berlari meninggalkan ruang kelas.
"Nay aku duluan yah"
Aku mengangguk setelah Gita pergi, aku berjalan untuk menyimpan kamus dalam lokerku namun saat ku buka sesuatu yang tampak asing berada dalam lokerku.
Setangkai bunga merah dan..... Sepucuk surat.
Aku mengambilnya lalu duduk, awalnya ku pikir Genta namun saat melihat nama pengirimnya hatiku tertegun.
Untuk Naya Rinjani
Hai Nay, ku harap saat kau membaca surat ini kau tidak berpikir aku aneh karena seorang Joker telah menulis surat Naya.
Aku bukan seorang yang pandai berkata-kata tapi denganmu aku ingin lebih berani mengungkapkan sesuatu melalui kata.
Nay aku minta maaf, mataku malu menatap wajahmu. Aku merasa bersalah menguncimu dalam ruang auditorium seharusnya aku tidak bertindak sebodoh itu. Sekali lagi aku minta maaf.
Naya sekarang hari-harimu akan berjalan menyenangkan, tak ada lagi Radit yang menarik rambutmu atau mengusili mu. Aku akan ke London menemani Ayahku, menuntut ilmu dan berusaha jadi orang yang lebih baik.
Salam hangat dari pengganggumu
Raditya Anwar .Tanpa pikir panjang, aku berlari sekencang mungkin,dadaku terasa sesak. Mungkin kau berpikir Radit hanya seorang pengganggu tapi ada bagian dimana Radit benar-benar seorang yang baik dan cukup aku saja yang tahu.
Ketika sampai di pintu pagar, aku berusaha memberhentikan taksi dan sialnya tidak ada. Aku menekuk lutut menyembunyikan tangis yang sedari tadi ku tahan.
"Naya"
Suara itu...
Aku menengadah memandang seseorang yang tengah berdiri di hadapanku. Senyumnya berubah tatkala ia mendapati mataku sembab, ia segera ikutan berlutut bertanya dengan nada khawatir.
"Nay kamu kenapa nangis?"
Ia segera memelukku, aku menceritakan semua yang terjadi pada Genta.
"Nay, Kita susul Radit ke bandara"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey
Fiksi RemajaAkan ku kenalkan kalian pada Genta ku asal janji jangan jatuh cinta padanya karena dia milikku meski semesta tak mendukung