Sembilan

6 3 0
                                    

Napasku terasa sesak sungguh! Aku melihat dinding tembok pada bangunan auditorium ini bergerak perlahan seolah-olah siap menghimpit tubuhku. Aku berusaha membuka pintu dan berteriak meminta tolong tapi rasanya mustahil tak ada yang mendengar.

Aku semakin sesak, suaraku tertahan dan jantungku berpacu dengan cepat bayangan kebakaran 10 tahun yang lalu kembali terlintas yang membuatku semakin sesat. Tembok-temboknya mulai terasa menghimpit tubuhku, aku tidak mampu lagi berteriak bahkan dapat ku rasakan tubuhku menghantam dinginnya lantai keramik , pandanganku kabur. Aku harap seseorang dapat menyelamatkan ku.

"Genta... "

***

"Lo dah sadar?"

Meski pandangan ku masih belum jelas tapi aku tahu pemilik suara itu adalah Inggita, kepala ku masih terasa berat. Tunggu aku dimana?

"Sumpah yah tadi itu lo bikin gua hampir jantungan tau nggak!"

"Aku pingsan yah Git?"

"Yaelah bocah masih nanya lagi, untung aja tadi kak Genta langsung bawa lo ke UKS sumpah yah sepanjang dia lari-lari bawa lo ke UKS dia itu kek pangeran lagi gendong putri tidur tau nggak"

"Genta memang sudah jadi pangeran di hatiku, Gita"

Terdengar suara langkah yang bersahut-sahutan dari luar, Inggita keluar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi aku tetap berbaring di atas ranjang UKS sampai ku lihat Inggita kembali dengan langkah yang tergesa-gesa dan raut wajah yang cemas, ku tanya mengapa dan jawabannya membuatku kaget.

"Genta berkelahi Nay"

Meski masih terasa pusing ku paksakan untuk tetap berlari ke lapangan, Inggita sudah menahan ku dan bilang harus tetap tenang tapi aku mana bisa tenang jika mendengar seorang Genta berkelahi. Aku dan Inggita mencoba menerobos kerumunan para siswa yang tengah serius menonton acara gratis tersebut dan mataku terbelalak saat tahu lawan berkelahi Genta adalah Radit.

Genta menghajar habis-habisan Radit, sementara orang yang di hajar malah diam menerima semua tinjuan dan pukulan dari Genta,kakiku melemas aku tidak tahu jika Genta akan berbuat seperti itu.

"Genta!! Berhenti Ta!!!"

Teriakku tapi sepertinya Genta tidak mendengarnya, jika ku biarkan maka nyawa Radit yang akan terancam. Radit jatuh tersungkur wajahnya penuh darah akibat tinju yang di layangkan Genta.

"Berhenti Ta!!!"

"Please berhenti"

"Ku mohon..."

Segera ku peluk Genta untuk meredam emosinya, aku tidak sanggup membayangkan bagaimana Genta akan menendang tubuh Radit yang sudah terlihat lemas. Aku memeluk tubuhnya erat berharap dengan cara ini Genta akan berhenti.

Genta akhirnya melunak, ia membalikkan badan menatap ku dengan sorot mata tajam lalu pergi meninggalkan lapangan. Semua siswa akhirnya bubar dengan sorakan kekecewaan, aku tidak menyusul Genta ku pikir ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri.

Aku mendekati Radit yang sudah tampak lemas namun tetap memaksakan diri untuk berdiri, segera ku papah namun ia menolak tapi saat ini aku ingin keras kepala jadi tetap ku papah meski ia menolak.

"Radit untuk kali ini dengerin aku"

Aku membersihkan luka lebamnya dengan antiseptik, Radit yang biasa mengomel dan jahil itu kini tertunduk lesu.

"Radit.."

"Radit..."

"Auu"

Radit meringis kesakitan karena lukanya dengan sengaja ku tekan sedikit keras yang membuatnya langsung menatap ku.

"Maafin gua Nay"

Untuk pertama kalinya aku mendengar kata maaf dari seorang Radit, aku mengulum senyum.

"Iya aku maafin, aku yakin kalau kamu tahu aku punya phobia kamu nggak bakalan ngunci aku di ruang tadi"

"Tapi Nay gu-"

"Udah ah Dit, aku mau ke kelas dulu kamu disini istirahat"

Segera ku rapikan kotak P3K lalu ku simpan dalam lemari yang penuh dengan aroma obat-obatan, ku tutup dengan cepat karena tidak tahan dengan aroma yang seakan menyumbat saluran pernapasan ku.

Aku membayangkan bagaimana emosinya Radit saat ku bilang kalau aku tidak menyukainya, aku tidak tahu mengapa lelaki yang satu itu tidak bisa me-ngontrol emosinya tapi aku lebih kaget saat Genta yang ku kenal dengan kebaikan dan sikap lembutnya itu bisa memukul.

Dari jauh ku liat Genta yang sedang berjalan dengan Bahrun, aku hendak menyapa dan menanyakan kondisinya tapi ku urungkan saat ia melewati ku begitu saja tidak tersenyum atau bahkan melihatku, ku pandangi tubuhnya yang kian berlalu. Sekelebat pertanyaan mulai muncul dipikiranku.

"Genta kenapa?"

"Genta marah?"

"Jika iya, kenapa? Apa alasannya?"


The JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang