Lembar 2: Chaos

1.4K 131 27
                                    


Keadaan di dalam kamar apartemen anak-anak ini semakin kacau. Dua orang dalam bahaya, aku dan Daniel. Kami berada di ujung tanduk. Hidup kami ditentukan oleh seberapa cepat kami berpikir mencari jalan keluar dari masalah ini. Daniel beraksi lebih dulu, ia mendorong kasar salah seorang dari mereka, Minhyun. Terjungkal pria yang hobi bersih-bersih itu, ia menjatuhkan pisau daging di tangannya. Lewat jalan terbuka itu Daniel keluar dari lingkaran kematian. Aku mengekori, tanpa ragu melangkahi Minhyun yang hendak bangkit, malah perutnya terinjak olehku. Mana mungkin keluar lewat pintu, listrik mati, mau menekan tombolnya saja tak akan berpengaruh apa-apa, bagaimana memasukkan password? Hal ini baru kami sadari, bahkan sang author juga.

Panik, aku dan Daniel berderap cepat. Listrik mati, otomatis lift pun mati. Mengekori Daniel, pria tersebut berlari menuju kamarnya sendiri. Heningnya malam berakhir, bunyi langkah kaki menyeruak dari luar kamar. Bisa ditebak itu milik siapa. Kami dalam bahaya lagi usai lolos dari lingkaran maut. Segera mungkin pintu kututup, kukunci pula dari dalam. Barang-barang berat digeser satu-persatu ke depan pintu agar pemblokiran jalan masuk mereka dapat berjalan dengan baik. Lelaki bernama Daniel yang bersamaku melakukan perbuatan di luar dugaan. Ia mencoba memecahkan kaca jendela.

“Sambungkan selimut, seprai, pakaian atau apa pun itu menjadi tali!” perintahnya seraya mengayun meja kecil ke arah jendela.

Keping-keping kaca terjun bebas di udara dari lantai lima menuju permukaan tanah. Berhasil, jendela sudah dipecahkan. Sisa-sisa kaca yang masih ada di kerangka jendela ia singkirkan agar tak melukai kami sewaktu keluar nanti. Cukup gila ide milik Daniel, namun patut diacungi jempol juga. Kupastikan semua ikatan dalam keadaan kencang agar pelarian diri ini tak berujung maut. Aku tak ingin terpisahkan dengannya. Apa dia juga begitu? Entah.

“Biar kubantu,” Daniel ikut membantu tugasku.

Kira-kira sudah panjang dan mungkin cukup untuk ukuran lantai lima, tali buatan kami diterjunkan. Panjangnya tak sampai menyentuh rerumputan yang terhampar di tanah, namun tak apa, setidaknya mungkin kami tak akan mati lompat dari ketinggian seukuran itu. Perhitunganku mengatakan jarak ujung tali dengan tanah sekitar dua atau tiga meter. Daniel dan kawan-kawan sekamarnya harus merelakan pakaian-pakaian kesayangan mereka menjadi korban.

Suara mencuat dari balik pintu. Mereka sempat hening setelah menghasilkan bunyi langkah kaki mendekat. Pintu diketuk dari luar, entah siapa yang mengetuk tapi tetap tak ada secercah pun niat untuk membukanya dan membiarkan salah satu atau bahkan semua  masuk. Nyawa bisa menjadi taruhannya, nyaliku tak sebesar itu, maaf.

“Kau yang turun duluan!” tangannya mendorong punggungku pelan menuju jendela.

Angin dingin berembus menerpa tubuhku. Kekuatan angin cukup kencang, mungkin ini faktor ketinggian. Semakin tinggi tempat kita berdiri, semakin sedikit pula yang menghalangi kedatangan angin –tergantung tempat dan kondisi. Takut pasti ada di hati, bersedia atau enggan, aku harus menuruni tali yang tingkat keamanannya diragukan, sangat diragukan, belum teruji secara klinis.

Tanpa menunggu lama seperti di film-film, aku langsung menuruni tali tersebut. Kami sudah mengikat ujungnya ke dinding. Jendela ada dua dan letaknya sangat berdekatan, hanya terpisah mungkin 10 cm. Daniel menghancurkan kedua buah kaca jendela itu. Diikatkan ujungnya di dinding antara jendela satu dengan yang satunya lagi sekencang-kencangnya. Kutaruh kehati-hatian di setiap permukaan kain yang kugenggam erat. Daniel menunggu gilirannya sembari sesekali matanya bergerak ke pintu dan ke arahku secara bergantian. Kuat-kuat sepasang tangannya memegangi tali berbahan kain takutnya terjadi sesuatu di luar rencana. Ikatan kencang tali di dinding tak menghilangkan kemungkinan dapat lepas.

Volume ketukan di pintu bertambah keras. Api amarah sepertinya mulai membakar hati mereka berempat. Selamat raga ini dari maut, kakiku berhasil melompat dan mendarat dengan aman di atas hamparan rumput. Kini giliran Daniel yang kabur lewat untaian kain yang tergerai ke bawah. Tidak ada satu pun orang menjaga tali. Semoga saja Daniel dapat turun dengan selamat...

Black Out IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang