Lembar 14: Two horns

637 61 1
                                    

"Kalau begitu, jadilah milikku."

Dua buah marble gelap itu menatapku. Senyum penuh misteri membumbui kalimat yang ia lontarkan. Hampir terhempas keluar kedua bola mataku. Sedikit lagi rasanya jantungku akan copot. Otakku tak dapat memproses respons yang harus kuberikan selan jutnya. Bibirku bisu. Dalam hati aku berteriak lantang. Apa yang harus kulakukan?!

Terlambat kusadari, pantas saja dengkurannya berhenti tak lama sebelum ini, ternyata ia diam-diam sudah bangun. Kukira kebetulan saja sedang ada jeda. Rupa wajahku mungkin bak sebuah strawberi yang matang, merahnya begitu kentara.

Merembet sebuah suara, membelokkan atensi kami ke kebisingan itu. Dengan mengandalkan perkiraan, suara terdengar macam sesuatu yang diketuk. Malah lebih condong ke suara pukulan, lumayan keras. Seruan minta tolong mengiringinya.

"Seongwoo?" serentak aku dan Daniel menyebut namanya.

"Haruskah kita membiarkan dia keluar?" bimbang meliputiku.

Lagi, kumenatap dua objek hitam dan putih berbentuk bola itu. Tersirat tiga hal di dalamnya, rasa takut, bingung, dan iba. Takut, takut akan kekacauan sebelumnya terulang kembali. Bingung, bingung memutuskan pilihan, apakah harus membebaskan Seongwoo atau mengurungnya di dalam hingga batas waktu yang belum ditentukan. Iba, iba karena hubungan yang terjalin antara keduanya sebagai sahabat, mustahil ia tega sangat pada sahabatnya sendiri.

"Kau diam di sini saja, biar aku yang menemuinya," bangkit Daniel dari posisi berbaring.

Berlari kecil ia keluar dari ruangan
Patuh, aku berdiam di ruangan ini sesuai instruksinya. Tak berselang lama, indera pendengaranku mendeteksi sebuah suara. Nyaring suara itu. Teriakan lantang tersebut menyiratkan banyak pesan yang mampu kumaknai beragam. Kuartikan teriakan itu sebagai penyaluran dari rasa panik yang melanda si pembuat teriakan. Membulat sepasang mataku. Bergegas kakiku berderap menuju asal suara.

"Daniel?! Ada apa?! Apa kau baik-baik saja?!" rasa gundah menguasai diriku sepenuhnya.

"Ada serangga!" lantangnya melompat ke belakangku.

Tatapan muka datar kusuguhkan. Tubuh kekar nan manly kalah telak oleh seekor serangga kecil berukuran tak lebih dari 5 cm.

....................

"Jihoon, apa tanganmu sudah baikan?" kedua marble dark brown-ku terfokus pada tangan pria berwajah imut.

"Ya, lukanya mulai sembuh sedikit-sedikit," timpal Jihoon memberi seulas senyum.

Angin sore yang sejuk menerpa kulit kami berdua. Daun-daun terjun bebas di udara, sesekali mengenai kami yang duduk di bawahnya. Di bawah pohon sebelah rumahku, dua orang sedang duduk bersantai menikmati sore hari yang damai. Jihoon dan aku berada dalam lingkaran obrolan. Tak ada yang mengusik. Suara anak-anak bermain di sekitar lingkungan rumah menjadi backsound-nya.

"Hey! Kalian berdua saja, aku jadi cemburu!" seseorang masuk ke lingkaran obrolan tanpa permisi.

"Untuk apa kau cemburu?" keheranan diriku pada untaian kata yang terucap dari bibir seorang pria yang berjalan mendekat.

Embusan angin sore sedikit mengibarkan poninya, tersingkap sedikit helai-helai rambut tersebut menampakkan kening pria berperawakan besar itu. Sebuah titik hitam tersemat di dekat matanya memperindah kenampakan wajahnya. Melihat kehadirannya serasa ada bunga-bunga bermekaran di hati. Oh my prince charming!

“Aku merasa seperti nyamuk di sini. Boleh aku pergi?” sendi-sendi kaki Jihoon yang terlipat pun lurus kembali, ia bangkit dan hendak angkat kaki.

Black Out IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang