Lembar 13: Beautiful Scenery

640 66 4
                                    



Apa ini ciuman pertamaku?




DDAENG!

Tebakanku salah! Kepala ini ia dorong dengan satu tangannya itu menggunakan tenaga semaksimal mungkin. Hilang sudah keseimbanganku karena tak ada ancang-ancang untuk mengokohkan tubuh. Manis sekali rasanya raga ini menyapa lantai. Cukup bising bunyi yang dihasilkan. Nasib baik masih berpihak padaku, kepala tak jadi retak karena bertabrakan dengan lantai. Tanganku berhasil mencegah kecelakaan yang bisa berakibat fatal tersebut. Seongwoo berbalik ke belakangnya, kejutan ia dapatkan. Tinju mendarat di wajahnya dengan sangat enak. Mengucur cairan merah segar menyembul dari hidungnya, sungai kecil mengalir dari kedua lubang itu. Daniel pelakunya.

“Rasakan itu!” puas sangat Daniel dengan hasil kerjanya sendiri.

Senyum bahagia tersungging di wajah babak belurnya, ludah ia tembakkan pada Seongwoo yang meringis kesakitan di lantai.

“Daniel, jangan kotori tokoku dengan air liurmu!”

Bibirnya membentuk senyum unjuk gigi, tawa kecil menyertai.

Si pembuat onar membangkitkan tubuhnya yang sempat runtuh. Daniel dan aku bersiap di posisi, sewaktu-waktu serangan bisa saja dilayangkan pada salah satu dari kami. Sepenuhnya berdiri, janggal sekali mata Seongwoo. Matanya berbinar merah kentara sekali, ditambah kegelapan yang menguasai latar. Serangan membabi buta ia tujukan pada Daniel. Gesit sekali gerakannya, Daniel sukar sekali menyerang balik, begitu pun aku yang mencoba membantu. Setiap serangan yang hendak kami luncurkan, ia selalu bisa menangkisnya dengan cepat. Tenaganya sungguh kuat. Hanya dalam hitungan menit, Daniel K.O. Tinggal diriku yang tersisa. Secepat mungkin kuberlari menjauh. Berhasil! Setidaknya diriku bisa memperlebar jarak aman. Seongwoo mengekori dengan kecepatan yang sama. Permainan kejar-kejaran berlangsung hingga ke luar bangunan.

Impossible sekali kaki ini harus diporsir bekerja, membawa lari ragaku untuk selamanya. Seongwoo harus dihentikan, jika bukan aku, siapa lagi? Rem kuaktifkan , aktivitas lariku terhenti. Berbalik cepat ke belakang, satu kepalan tangan diluncurkan. Seongwoo tak sempat menghentikan langkah dan mengaktifkan benteng pertahanannya, alhasil pipinya berhasil disambangi oleh tinju mautku.

Gaya dorong dihasilkan dari pukulanku, membuat kakinya melangkah mundur sedikit. Kepala Seongwoo tertunduk sejenak. Balas dendam dilancarkan, serangan yang serupa denganku ia berikan. Gesit kugerakkan tubuhku ke samping, menjauhi tinjunya. Sayang, aku hanya buang tenaga sia-sia. Satu tangan Seongwoo yang lain lepas landas secara diam-diam, melayangkan sebuah pukulan mengenai perutku keras. Mantap sekali, sakit ini sedikit mengguncang keseimbanganku. Tanpa jeda, serangan kukirimkan lagi. Kuabaikan rasa sakit yang menggerayangi perut. Seongwoo membalas kemudian. Begitu terus tiada henti.

Pertarungan seakan abadi, entah kapan tamatnya. Layaknya pegulat di ring, kami menjotos dan menendang satu sama lain. Seksku memang perempuan, sedangkan Seongwoo laki-laki, tenaga boleh jadi beda, tapi semangat dan tekadku membara, melebihi si musuh. Siapa bilang perempuan itu lemah? Lalu mana mungkin perempuan diberi kodrat melahirkan jika memang ia makhluk lemah. Emosi yang berkobar di dalam diriku menguatkan setiap serangan yang kuluncurkan. Seongwoo tampak sedikit kewalahan.

Para pegulat babak belur. Hampir seluruh tenaga telah tersalurkan pada aktivitas fisik dan rasa sakit. Kain yang membalut tubuhku jauh dari yang namanya bersih, noda bekas tanah, debu, dan darah tertera di permukaannya. Cairan berbau logam tersebut tak hanya kepunyaanku saja, si musuh pun. Sekumpulan benang yang menyatu itu pun menyerap bulir-bulir keringat hasil jerih payahku mempertahankan diri dan melawan musuh. Helai-helai rambutku tak karuan, mereka saling mengikat, berdiri, tumpang tindih dan lain sebagainya.

Adu jotos bersifat fana rupanya dalam pertarungan ini. Entah karena jenuh atau apa, Seongwoo melancarkan aksi lain. Sepasang tangannya melingkariku erat, kemudian diangkat ke udara, dan dihempaskan ke permukaan bumi. Remuk rasanya punggung, semoga tak ada tulang yang patah. Rasa sakit menghasilkan kernyit di dahi dan erangan keras. Diriku dalam keadaan lengah, semua atensiku tertuju pada rasa sakit yang menyiksa.

Black Out IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang