Lembar 3: Zombie?

1.2K 114 23
                                    


Kecelakaan lalu lintas tak terhindarkan. Bukan kami sang korbannya, melainkan Jisung.

Hyung!

Mobil berhenti tepat setelah raga Jisung jatuh menyapa kerasnya permukaan aspal. Kami yang ketakutan setengah mati beberapa detik lalu, malah menjadi iba dengan penderitaan Jisung. Pria berumur 27 tahun ini tak sadarkan diri. Cairan merah jatuh ke permukaan jalan raya. Menghampiri kami ke hadapan tubuh Jisung yang tergelepak mengenaskan. Orang di dalam mobil tidak turun sama sekali, wanita itu hanya diam menundukkan kepala.

“Hyung, kau baik-baik saja?” khawatir Daniel menepuk-nepuk badan Jisung.

“Jangan mati dulu!” tak kuasa diriku menahan air mata.

Hujan turun di pipiku dan Daniel, tak tega menyaksikan pemandangan di depan mata. Kelopak mata Jisung terangkat, kepala serta bola matanya berputar ke arah orang-orang yang sedang berduka, kami berdua. Mesin gergaji menyala kembali. Langsung dua orang ini bergerak mundur. Rasa iba terbenam, rasa takut terbit lagi menyinari hati kami. Terbirit-birit diri kami, sesekali kepala menengok ke belakang memeriksa jarak antara kami dengannya.

“Jika dia berhasil mengejar kita, kau lari saja duluan, aku akan mengurusnya!” sejenak Daniel melirik kepadaku.

“Apa kau gila?! Kau akan melawannya dengan tangan kosong?! Aku mohon jangan lakukan itu, aku tak bisa bayangkan bagaimana kelanjutan kisah hidupmu setelah itu,” kutolak omongannya itu tanpa ragu.

Aku tidak bisa kehilanganmu, tidak bisa!

“Aku tidak ingin kau terluka, apalagi mati!” timpalnya. “Memang kau akan langsung ke surga? Belum tentu, jadi perbaiki dirimu dulu, baru mati!” lanjutnya tak serius.

“Tidak tahu, benar juga ucapanmu. Tapi kau juga memang akan langsung ke surga? Kan belum tentu!”

“Tak apa, jika ini demi kau, aku rela mati.”

Kalimat terakhir yang ia ucapkan entah sebuah lelucon belaka atau memang serius. Mimik wajahnya sulit untuk dibaca ketika bibirnya mengalirkan rangkaian kata tersebut.

Bosan rasanya berlari tiada henti, tenaga dari makan malam tadi terkuras habis, kecepatan kami melambat. Jisung di belakang masih berapi-api mengejar kami. Apa dia tidak kelelahan atau merasa pegal-pegal? Benar-benar tangguh. Sampai kapan kami harus berlari? Sampai kiamat datang? Oh, sungguh aku lelah! Daniel yang selangkah di depanku mandi keringat, sama denganku. Pulang-pulang aku ingin langsung melepas pakaian dan mandi.

“Ada sepeda di sana, kita bisa menggunakannya!” Daniel menginformasikan sesuatu.

Benar juga perkataannya. Karena terdesak, kami pinjam dulu sepedanya, kalau bisa dikembalikan mungkin nanti kami kembali ke sini dan mengembalikannya ke posisi semula. Kita mengayuh sepeda masing-masing hingga kecepatan maksimal. Tak perlu lagi kaki kami bersentuhan dengan pedal sepeda dan memutarnya. Roda sepeda bergerak, berguling-guling di atas aspal dengan cepat. Pria dengan gergaji mesin di tangan tak ada jenuhnya membuntuti kami yang sudah melesat jauh di depannya. Dalam waktu singkat indra pendengaran kami tak diramaikan lagi bunyi gergaji mesin. Satu-satunya bunyi yang membelai telinga hanya sepeda ini dan terpaan angin.

Kembali ke semula degup jantungku, ia sudah tenang. Kemungkinannya sangat kecil untuk Jisung menemukan kami berdua. Terpisah kami dengannya sangat jauh, jalan yang kami lalui pun tak akan ia ketahui. Kami tak bodoh mengambil jalan lurus terus-menerus. Seringkali kami berbelok mengambil jalan lain untuk memperkecil keberuntungannya menangkap kami. Daniel memimpin jalan, sesekali kami berganti posisi.

Tenaga yang terpakai tidak sebanyak berlari kalau menggunakan sepeda. Kita bisa menghemat energi lumayan banyak. Pada akhirnya rasa lelah pasti datang, namun misi kami untuk melarikan diri dari Jisung berhasil. Lelah, kami melaju ke samping kemudian melamban sedikit demi sedikit dan berhenti. Melepas penat, duduk kami di trotoar. Kaki kuluruskan dan kulemaskan agar pegal lenyap, sedangkan Daniel duduk bersila.

Black Out IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang