Lembar 5: Intruder

943 92 1
                                    


Sang Spektator Perempuan, yaitu aku menghempaskan pekikkan keras hampir memecahkan gendang telinga Daniel yang berdiri di sampingku.

“Kita harus kembali ke sana! Kita harus selamatkan dia!” sekujur tubuh dan pikiranku dikontrol secara total oleh si panik.

“Tenangkan dirimu! Kalau kita kembali sekarang, entah apa yang akan terjadi pada kita. Aku tidak tahu harus berkata apa kepada orang tuamu jika kau kenapa-kenapa!” sepasang bola matanya menatapku dalam-dalam.

Sebagai pengusir kepanikan, oksigen di udara kuhirup sebanyak-banyak mungkin secara perlahan, sekiranya sudah di ambang batas, kuembuskan keluar pelan-pelan. Sekitar tiga sampai lima kali aku mengulang kegiatan tersebut.

“Bagus, di situasi seperti ini baiknya jangan panik supaya kalau terjadi apa-apa kita bisa berpikir jernih mencari jalan keluar dari masalah,” pelan ia menepuk pundak kananku dua kali.

Acara saling tatap-menatap usai. Petualangan yang sempat terhenti dilanjutkan kembali.

“Ke mana kita akan pergi?” Daniel bertanya.

“Ke tokoku saja, kuncinya ada padaku, bukan di pegawaiku,” kugoyang-goyangkan kunci tersebut hingga menimbulkan bunyi dari gantungannya yang saling bertabrakan.

Tanpa penolakan, usulanku diterima dan diindahkan. Berjalan kaki cukup melelahkan. Jarak yang memisahkan kami dengan tempat tujuan cukup jauh. Keberuntungan berpihak pada kami, sepanjang perjalanan terbebas dari hal-hal buruk yang mengusik ketenangan hati. Jiwa dan raga kami tiba dengan selamat di destinasi tujuan. Kaki sudah menginjak tempat tujuan. Berdiri badan kami bertatap muka dengan sebuah bangunan kokoh yang sangat kami kenal. Bunker terdekat dan teraman dari serangan hal-hal yang mengancam jiwa, raga, juga mental kami, di sini, toko kepunyaanku. Ukurannya cukup besar, cukup sukses pula sepak terjangnya dalam dunia bisnis.

Pintu dibuka, ratusan pakaian tergantung dan tersimpan rapi serta tertata di rak-rak juga tempat lainnya. Beberapa manekin setia berdiri di beberapa titik. Sebagai benteng pertahanan dari kemungkinan serangan tiba-tiba atau kedatangan orang tak diinginkan, pintu dikunci kembali.

“Kau mau coklat panas?” tanyaku, siapa tahu ia ingin.

Dua buah anggukan ia beri. Dirinya mengisi waktu dengan melihat-lihat busana rancanganku. Semua pakaian yang ada di sini 100% hasil dari buah pemikiranku sendiri. Di secarik kertas kutuangkan jutaan imajinasiku, lalu kuubah menjadi nyata menggunakan helai-helai kain yang beragam warna dan jenis. Warna-warni kain kupadu-padankan hingga menciptakan harmoni yang indah dipandang dalam bentuk pakaian. Pakaian, salah satu contoh dari karya seni terapan yang tak hanya mementingkan keindahan, namun fungsi serta kenyamanannya juga.

Singkat cerita coklat panas siap dihidangkan. Dua mug berisi cairan coklat yang berasap diantarkan memakai nampan ke salah satu ruangan. Pengisi kekosongan toko ini berkumpul di ruanganku. Lilin berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Aku dan Daniel menikmati coklat panas bersama-sama dalam cahaya remang-remang ini, hanya berdua. Setiap tegukan coklat panas membawa kehangatan ke sekujur tubuh. Sesekali mata kami bertemu dengan bibir membisu. Rapat tertutup bibir ini, hanya membuka ketika cairan coklat hendak mendarat dan masuk ke mulut.

“Apa ada tempat tidur di sini? Aku sedikit mengantuk, waktu sudah sangat larut...” keheningan teringkirkan oleh pertanyaan Daniel.

“Tempat tidurnya hanya satu,” timpalku kemudian meneguk kembali coklat panas yang kini sudah tidak panas lagi, hangat.

“Ya sudah, aku tidur di sofa saja,” jari telunjuknya mengarah ke sofa di samping meja kerjaku.

“Tidak apa-apa?” takutnya ia keberatan.

Black Out IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang