Lembar 12: Farewell

664 64 1
                                    

Dengan berat hati ku lepas dekapan eratku. Kapan lagi dapat merasakan sentuhan kulit dan kehangatan tubuhnya. Penuh kelembutan dan kasih sayang, tubuh Daniel ku baringkan di atas permukaan trotoar. Semua air mata ku seka. Percuma, bulir-bulir bening tersebut meluncur lagi. Semua adalah jalan buntu di situasi seperti ini. Mau kau menghubungi ambulan beratus kali pun tak ada hasilnya, hanya membuang tenaga. Kapan kesengsaraan malam ini akan berakhir?

Pecah kembali tangisku, jutaan kenangan indah berangsur-angsur muncul ke permukaan samudra ingatan di dalam kepalaku. Dokumentasi berupa ingatan memperburuk warna hatiku yang semakin menghitam. Ku letakkan tubuhku sendiri di samping Daniel, damai sekali tidurnya sampai-sampai tak bisa  bangun kembali. Posisi Daniel terlentang, sedangkan diriku menyamping ke arahnya. Kapan mataku bisa menangkap pemandangan indah ini lagi? Ku pandangi parasnya sepuas mungkin.

“Semoga kita bertemu lagi suatu saat nanti...” ujarku membelai pipinya.

Tangis berlanjut. Jika tak ada hal yang mengusik, mungkin air mata ini abadi hingga matahari melayang di atas kepala.

“Ingat kah kau dulu saat pertama kali kita bertemu? Kita bertemu di acara kencan buta yang temanmu buat. Kau bilang alasanmu datang itu karena dipaksa temanmu, begitu juga denganku. Kencan buta yang temanmu buat ternyata gagal, ia tidak mendapatkan perempuan tersebut, dan kita sama sekali tidak berpacaran. Dari sana kita malah menjadi teman dan bahkan sahabat. Tak terbayang olehku jika kita menolak ajakan tersebut,” tertawa diriku usai story telling. Satu detik kemudian air mata membludak kesekian kalinya, aku bosan namun tak dapat menahan hal tersebut.

“Hentikan, kau tidak bisa terus seperti ini...” suara melayang dari bibir seseorang.

Menyebar lewat udara suara itu dan menyelusup ke telingaku, otakku memproses siapa pemilik suara ini, familier sekali, ialah Sewoon. Derai air mata berhenti. Dua iris mataku tertuju pada sesosok lelaki semi tembus pandang. Ragaku bangkit, berdiri kokoh kembali.

“Sekarang tutup matamu, jangan membukanya sebelum kusuruh, okay?” perintah yang sama seperti beberapa waktu lalu didaratkan lagi padaku.

Indra penglihatan ku nonaktifkan sejenak. Meski diriku menurut dengan sangat, tapi niat untuk berontak tetap ada. Timbul secuil hasrat untuk ku langgar perintah Sewoon sebagai pemuas keingintahuanku. Ingin ku buka tirai yang menghalangi indra penglihatanku ini. Sangat mudah untuk melaksanakannya, namun sisiku yang lain mencegahnya. Bunyi-bunyi misterius memperbesar gairahku untuk melanggar, membuka mata, merekam, dan menyimpan hal tersebut ke dalam kotak memoriku.

“Selesai! Buka matamu sekarang!” perintah Sewoon.

Sesuai dengan perkataannya, kelopak mataku mengangkat ke atas. Si pembuat perintah nihil dari penglihatanku. Sepasang mataku menyapu sekitar, tak ada yang luput dari pengawasan. Orang yang ku cari menghilang. Ke mana perginya dia?

“Di mana aku?” pertanyaan terlontar entah dari mulut siapa, pastinya bukan mulutku.

Bergerak cepat kedua mataku ke sumber suara. Mata indahnya membuka lagi, memandangiku, bersua dengan mata sembapku. Senyum mekar di wajahnya, mengekspresikan emosi bahagia di hati. Reaksiku bukannya ikut menyunggingkan senyum, tapi menangis tersedu-sedu.

“Kenapa kau menangis? Sudah, jangan menangis,” satu tangannya menyeka bulir-bulir air mata yang turun di pipiku, kelembutan ia tuangkan di dalamnya begitu banyak.

“Tak ku sangka kau hidup kembali!”

Siapa menyangka? Mungkin Tuhan menakdirkan tugas Daniel belum selesai di dunia ini, akhirnya matanya dibukakan kembali. Ucapan syukur ku limpahkan beribu kali kepada Sang Pencipta. Ujung-ujung bibirku yang tertarik ke samping kembali ke tempat semula. Atensiku terbagi, objek bergerak di tempat nan jauh di sana seakan memaksaku menaruh perhatian padanya.

Black Out IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang