Lembar 11: GPS

656 75 9
                                    

Chapter ini mengandung kekerasan.

_______________________


Lari maraton abadi terus berlanjut. Peserta lari bertambah. Bunyi derap kaki lain mengikuti dari belakang. Mengekori terus langkah tersebut. Apa itu Daniel? Menengok kepalaku ke belakang. Ekspektasiku tak terealisasi, dia bukan Daniel, bukan siapa pun yang ku kenal, he’s a stranger! Memicing kedua matanya melihatku, kemudian membuka lebar, kecepatan larinya meningkat. Ia tampak berapi-api mengejarku. Balapan tak terhindarkan. Garis finish kami berdua berbeda. Garis finish-ku adalah berhasil kabur darinya, sedangkan garis finish miliknya yaitu berhasil menangkapku. Masker hitam menyembunyikan hidung dan bibirnya. Rambutnya bersembunyi di balik topi putih yang ia pasang di kepala. Siapa kau sebenarnya? Apa tujuanmu mengejarku?

Semakin tipis jarak antara kami berdua. Detak jantungku memburu, keringat bercucuran dan turun bagai hujan lebat, bola mataku memaksa ingin keluar. Tahap krisis menyambangi kisah hidupku lagi. Apa ini chapter terakhir dari kisah hidupku? Tak ada yang tahu, kecuali Author yang selalu menyiksa kami, capek berlari terus! Situasiku berada di ujung tanduk. Orang misterius ini berhasil menyusul. Memekik diriku secara otomatis, menggelorakan rasa takutku yang tak berkesudahan.

Langkahku berhenti. Bergeming diri ini menyaksikan kejadian di depan mata. Pria itu hanya lewat saja? Ia tak mempedulikanku sama sekali, menengok ke belakang sedikit saja tidak. Lalu untuk apa aku berlari? Nyawaku serasa hampir dicabut namun sekarang telah kembali. Ku jatuhkan diriku, sepasang lututku menghantam aspal. Layu sekujur tubuh ini, meringkuk di atas jalan raya sembari memejamkan kedua mata. Air mata tercipta kembali atas keputusasaanku dan stres yang kuderita.

“Bangun, cengeng!” seru seorang lelaki.

Indra pendengaranku seakan tuli, tak kugubris sama sekali perkataannya. Hal ganjil terasa olehku. Badan ini serasa melayang di udara. Lebar terbuka mataku, memeriksa apa yang tengah terjadi. Benar, tak ada aspal yang menjadi alas berbaringku lagi. Hanya udara yang ada di bawahku. Menatap lurus diriku pada wajah seseorang. Familiar parasnya itu. Nama orang ini ialah Hyunbin.

“Kau sudah bangun? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana kau tahu aku di sini?” heran menyaksikan kehadirannya secara tiba-tiba di sini.

“Ternyata kau masih perhatian padaku setelah menghantamkan kepalaku ke tembok,” senyum hambar yang singkat ia tunjukkan.

“Aku tidak ingat apa-apa, sungguh! Maaf jika aku memang melakukannya. Sekarang kau bisa turunkan aku, lagipula aku tidak apa-apa,” jadi tak enak rasanya.

“Karena kau menyakitiku tadi, maka hukumannya ini,” tawa menyeruak sejenak dari mulutnya.

Saling beradu kedua alisku. Hukuman macam apa ini?

“Aku bingung kenapa kau tahu aku ada di sini,” keheranan meliputiku.

“Alat pelacak yang kupasang di bajumu.”

Otomatis tanganku menampar pipinya keras. Jeritan singkat menggema.

“Dasar mesum! Turunkan aku!” liar tubuhku bergerak mencoba meloloskan diri.

“Bukan begitu! Maksudku kali ini lain! Ini bukan seperti biasanya!” Hyunbin membela diri.

Lepas dari tangannya, tubuhku yang hampir jatuh pun segera mengembalikan keseimbangan.

Black Out IIITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang