Part 11 》 After the Tragedy

5 1 0
                                    

Tirta hanya berjalan kesana kemarin memikirkan hal-hal yang akan terjadi nanti. Keadaan Lyan dan Ataya lumayan parah. Itu membuat Tirta semakin khawatir dengan keadaan keduanya. Ia sudah menghubungi orang tua Lyan dan Ataya. Dan mereka akan tiba ke rumah sakit tidak lama lagi.

Sedangkan Raihan masih dapat bersikap tenang. Ia hanya duduk di kursi tunggu sambil menatap lantai dengan pandangan kosong. Ia menyesali tindakan yang terlambat ia ambil. Banyak rangkaian kata yang mengekori kata 'seharusnya'

Lea sendiri hanya berdiam sambil berdiri dengan badan yang ia senderkan ke dinding koridor rumah sakit. Ia merenungkan kejadian tadi. Ia merekam jelas bagaimana tubuh sahabatnya menghantam pohon dan batu dengan keras. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana sakit yang dirasakan sahabatnya itu. Ia memejamkam matanya berusaha menghapus memori menyakitkan itu.

Toni. Toni baru datang ketika Lea menelfonnya dan memberi kabar pada Toni tentang keadaan Lyan dan Ataya. Toni waktu itu sedang berkumpul dengan semua murid kelas sebelas dan beberapa guru yang mengawas. Ketika ia mendapat kabar dari Lea, ia meminta izin kepada guru pengawas dan langsung menuju rumah sakit.

Semuanya hanya bisa tertunduk dan berusaha memenuhi fikiran dengan hal-hal positif. Hanya itu satu-satunya yang bisa mereka lakukan untuk menenangkan diri masing-masing.

"Kalo gue nolong Ataya lebih cepat, kejadian gak bakal kayak gini."

Perkataan Tirta membuat Raihan menoleh kearahnya. Tanpa disadari, perkataan Tirta memancing emosi Raihan yang tadinya sudah mereda kembali naik ke permukaan.

"Terus maksud lo ngebiarin Lyan gitu? Jangan egois, dong." Kata Raihan.

"Tapi nyatanya Ataya duluan kan yang jatuh. Dan lo liat gimana parahnya luka Ataya. Kebentur sana-sini." Kata Tirta.

Telapak tangan Lyan yang basah membuat tangan Ataya lolos dari genggamannya dan terjatuh. Pertama kepala Ataya membentur batu. Lalu badannya membentur akar pohon yang menjulang tinggi di tengah jurang.

Tidak lama kemudian, Lyan ikut terjatuh karena genggaman tangan Raihan melemah. Ia tidak bisa menggenggam tangan Lyan terlalu lama, tenaganya terkuras habis. Lyan terguling hingga badannya juga membentur pohon. Luka-luka ringan menghiasi sebagian badannya.

Setelah kejadian itu, Raihan yang masih tersadar dan tidak ikut terlarut kesedihan berkepanjangan langsung pergi ke perkemahan mencari bantuan. Kebetulan sekolah mereka juga mengajak dokter jika ada murid yang sakit atau terjadi kejadian seperti sekarang. Karena rujukan dokter, akhirnya mereka membawa Lyan dan Ataya ke rumah sakit.
Perdebatan mereka terus berlanjut karena saling menyalahkan. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Hingga Lea yang tadinya berusaha tidak memperdulikan itu, kini membuka kedua matanya yang terpejam lalu melerai Tirta dan Raihan.

"Aduh. Kalian berisik. Ini rumah sakit. Tolong jaga sikap. Di situasi serumit ini kalian masih aja bersikap childish. Kalian udah dewasa. Sadar." Kata Lea.

"Siapa yang childish disini? Gue udah berusaha ngelupain kejadian tadi, tapi Tirta masih ngungkit. Dan dia ngomong seakan disini salah Lyan." Jelas Raihan.

"Gak ada yang salah disini. Gue gak salah. Lo gak salah. Tirta gak salah. Lyan gak salah. Ataya gak salah. Toni gak salah. Semua gak ada yang salah. Bahkan takdir." Kata Lea.

Semua mendengar perkataan Lea. Lea memang benar. Bukan saatnya mereka bertindak kekanak-kanakan. Bukan hanya di situasi seperti ini saja tapi di setiap situasi tidak seharusnya mereka bertindak kekanak-kanakan.

Ketika sedang merenungkan perkataan Lea, pintu ruang gawat darurat di rumah sakit berderit terbuka menampilkan dua orang dokter yang menangani Lyan dan Ataya. Satu dokter langsung pergi karena ia ada jadwal operasi, sedangkan satu lagi menatap mereka semua seperti ingin menjelaskan sesuatu.

DIAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang