Dilema

1.3K 91 5
                                    

Akad yang hening namun menegangkan tadi sudah cukup menenangkan hati Awal kembali saat Ardie berhasil melewati ijab qabul dengan satu hentakan nafasnya, Awal merasa sangat lega mendengar itu meskipun hatinya masih bergemuruh tak karuan.

Usai ini ia harus segera menjauh lagi, bukannya apa-apa. Kondisi hati Awal sangat tidak baik untuk di ajak bicara, dia bukan tipe orang yang dapat menyembunyikan masalahnya.

Selain itu, Awal yakin dia akan kembali dicomblangin lagi sama Zahid oleh teman-temannya. Awal sudah cukup muak, sekedar pemberitahuan saja kalau Awal tuh orangnya nggak sabaran.

"Wal, kok disini?" Awal membulatkan matanya saat melihat Zahid dengan rokok di sela-sela jarinya. Ada asap mengepul, Awal yakini bahwa itu adalah asap dari mulut Zahid.

Awal menghela nafas berat, maksudnya apa? Dia kembali bertemu Zahid. "Ngejauh ya dari temen-temen?"

Awal menggelengkan kepalanya kemudian berbalik, abaya berwarna merah muda dengan aksen abu-abu itu ikut berputar mengikuti pergerakan tubuh Awal, khimar abu-abu yang dikenakan Awal saja sekarang sedikit terbang terbawa angin. Ia harus menghindari Zahid, ia tidak mau menghancurkan benteng pertahanan hatinya yang sudah beberapa tahun ia bangun. Biarkan kemarin goyang, toh tadi malam ia sudah memperkuat lagi.

"Wal.."

Awal tidak berhenti melangkah, ia mendengar namanya disebut  oleh Zahid. Namun, ia tidak ingin berbalik ataupun berhenti. Tujuannya adalah menjauhi Zahid dan teman-temannya. Kemanapun, berhubung tadi dia sekeluarga dan teman-temannya telah melakukan foto dengan pengantin.

"Kak!"

Awal terperanjat saat sedang berjalan cepat tiba-tiba ada yang mencekal pergelangan tangannya dengan cukup kuat. "Kak, makan yuk. Daritadi di cari-cari." Najmi mengerjapkan matanya dengan pelan tanda dia sedang bermanja-manja pada kakaknya ini. Awal tidak lapar, tapi kalau menghindar keluarganya pasti akan langsung tahu penyebabnya. Jadi, biarlah dia ikut makan. Siapa tahu kenyang, eh.

Awal mengangguk tanda setuju hingga akhirnya Najmi menyeretnya ke meja prasmanan. "Kak, gimana tawaran papah?" Sambil mengambil beberapa lauk, Najmi menyempatkan bertanya pada kakaknya. Misi dari mamahnya yang ngebet pengen punya menantu.

Awal lagi-lagi harus menghela nafas berat, "Mi, bisa—"

"Nggak, hal ini tuh harus dibicarakan." Sela Najmi dengan cepat.

"Tapi nggak sekarang Mi! Liat situasi dong, mau makan ini,"

Dengan cepat Najmi mengangguk dan mengikuti kakaknya bagaikan ekor, sejak dulu Najmi itu ekornya Awal. Mereka duduk di bangku khusus keluarga mereka, meskipun ini hanya acara akad tapi prasmanan ini akan tetap terlaksana. Menghidangkan sebagian makanan untuk tamu, seperti itu.

Awal masih ingin diam meskipun keluarganya bersahut-sahutan membicarakan acaranya Ardie ini, sekarang ia tenang teman-temannya tidak ada yang mencari. Mungkin sedang menikmati waktu masing-masing, toh Awal juga dengan keluarganya jadi ia bisa beralasan untuk tidak ikut kumpul.

Papa mengirim sinyal pada Najmi dengan matanya yang melirik Awal yang di sampingnya, wanita itu diam saja makan karena yang lain sudah selesai makan dan hanya Awal dan Najmi yang baru muncul, itu saja tadi karena Najmi disuruh mencari Awal dulu.

"Gimana?" Dengan hanya membuka mulut tanpa bersuara papahnya bertanya, Najmi menggelengkan kepalanya. Misinya belum terlaksana, Awal menolak pembicaraan itu.

Fadli menghela nafas, "Kalau Awal belum siap nikah, berarti sekarang nanya Fauzan dulu. Gimana?"

Ojan melirik Fadli secara tajam, "Awal sama Ojan tuh lahirnya duluan Awal, jadi ya dia lah yang pertama. Cucu pertama loh Wal kamu tuh."

Awal sudah mengakhiri makannya dengan segelas air teh hangat, dia kemudian menatap kedua orang tuanya. Ia tidak bisa memikirkan hal besar dalam waktu singkat seperti ini, ia butuh istikharah. Memilih antara melanjutkan cita-citanya menjadi master atau menikah dengan pria idaman, ibaratnya seperti itu ya jika dia sudah memiliki calon atau kandidat mungkin ini akan terasa mudah bagi Awal. Namun, dia tidak memiliki kandidat jadi lebih baik ia sekolah lagi saja.

"Awal istikharahkan dulu ya?" Akhirnya Awal hanya dapat mengeluarkan kata itu, "Awal butuh waktu," katanya kemudian diam menunduk lagi.

"Iyalah, akhirnya kamu bilang begitu. Papah tunggu jawaban kamu ya,"

Awal mengangguk. "Emang kandidatnya udah ada pah?" Aisyah kini yang bertanya.

Fadli tersenyum, "Ada."

••

Zahid dengan sebatang rokoknya kini hening setelah kepergian Awal tadi, rokoknya ia matikan lalu berjalan menuju tempat sampah terdekat untuk membuangnya. Kemudian Zahid pergi ke kamar mandi, mencuci tangannya dan mengusap kasar wajahnya. Beberapa kali mengucap istigfar, Zahid memang masih kecanduan merokok namun tidak separah Revan dan Landin. Zahid hanya akan merokok seminggu sekali. Tapi sepertinya minggu ini dia sudah lebih dari 2 kali.

Pria itu kini keluar dari kamar mandi, ia berjalan untuk menemui ibunya tapi sepertinya tidak bisa karena ibunya berada di ruang akhwat. Zahid jadi duduk lagi di halaman rumah Syifa yang sudah rapi ditambah banyak bangku. Ada Dave yang sedang menggendong Fatih, bayi kecil itu pasti sedang menuju alam mimpinya. Farah juga pasti bersama ibunya atau Syifa. Dania tadi sudah izin pulang padanya, ada pertemuan keluarga. Hem, Dania kan emang akan menikah.

Landin juga tadi menemani Ardie dengan Revan di ruang Ikhwan. Galih sudah pulang karena ada pekerjaan, jadi sekarang dia sendiri. Berbicara tentang teman-temannya, Zahid jadi ingat tadi mengapa ia memanggil Awal ya? Itu perbuatan bodoh setelah tadi malam ia terang-terangan berbicara tentang pernikahan.

Jika ditanya mengenai pernikahan, Zahid sudah siap secara fisik ya. Pekerjaan sudah punya, Kafe yang di kelolanya sudah memiliki dua cabang di Jakarta dan di daerah Bandung lainnya. Zahid juga mengelola ternak ayam dan ikan, beberapa meter dari rumahnya ada rumah yang sudah Zahid bangun sejak dulu untuknya dengan beberapa kolam ikan dan kandang ayam di belakangnya, tidak berantakan. Disana sekarang di tempati oleh Mang Dadang sekeluarga untuk ikut mengurus hewan ternaknya. Ia menjual ke restaurant, rumah makan dan beberapa penjual sayuran. Bisa dibilang sejak lulus SMK, Zahid ini pintar mengelola usaha dan mencari peluangnya. Berbeda dengan Ardie yang memilih bekerja di tempat orang daripada membuka usaha.

Secara mental, Zahid sepertinya belum siap untuk menikah. Dia rasa seperti itu, menikah itu tidak mudah namun harus tetap dilakukan. Apalagi sekarang hatinya meminta Awal untuk menjadi istrinya, tidak benar kan ini hatinya!

**

"Makasih ya udah bantu-bantu disini, nanti sering-sering dateng ke rumah ummi. Sekarang 'kan jadi sepi karena Ardie udah pindah." Ummi sekarang sudah mengenakan abaya biasa tanpa make up karena acara sudah selesai. Di hadapannya ada keluarga Pamungkas yang sedang berpamitan pulang.

Fadli melihat Zahid yang berdiri di samping ibunya dengan badan tegap serta senyum sopan, "Nanti kita buat Awal jadi sering-sering kesana." Kata Aisyah kemudian tertawa, "Maaf ya mi, kayaknya Awal nggak bisa nerima kerjaan dari ummi. Kalau bantu-bantu sekali-kali bisa lah,"

"Awal ngambil kerjaan dari Nenek," lanjut Fadli, kemudian Nurjannah mengangguk. "Gapapa, kamu harus banyak-banyak di rumah."

"Yasudah, kami pamit ya. Salam untuk semuanya," Fadli mewakili keluarganya untuk undur diri dari acara karena ada acara lain yang harus dihadiri. "Zahid di tunggu ya,"

Zahid sontak terkejut lalu refleks mengangguk, "Insyaallah om," katanya kemudian.

"Mau ngapain?" Ojan berbisik pada Fadli yang kemudian hanya di jawab senyuman.

"Kepo anak kecil!"

••

Assalamualaikum.. aku ngetiknya sedikit banget kan ya? Udah bingung mau ngetik apa hehehehehe nikmatin aja dulu hehehehehehehe

Makasih yang udah bacaaaa 🖤❤️

Skenario √√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang