Tubuhku dipenuhi lumpur dan basah kuyup, jam tanganku tidak dapat menunjukan waktu, anak anjing yang kupeluk perlahan mulai dapat menggerakkan tubuhnya dengan lemas. Aku memastikan agar tubuhnya hangat di dekapanku, terpaksa aku mengeringkan tubuh anak anjing itu dengan piyama yang diberi mama. Secara tidak sadar saat aku melihat ke kakiku terdapat luka goresan panjang di kakiku, darahnya masih mengalir deras tapi anehnya aku tidak merasa kesakitan. Aku mendapati lebam di perutku mungkin beberapa kali aku terjatuh kedasar danau saat meraih anak anjing.
Pendarahan dikaki ku mulai berhenti saat aku membalurkan kain dan mengikatnya dengan kencang, hanya saja rasa sakitnya mulai terasa saat aku tergopoh-gopoh berjalan pulang.
"Dari mana aja!?" Suara kak Theo begitu tinggi, raut wajahnya terlihat sangat kesal.
Kak Theo memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala. Ia menggeleng kan kepalanya dan beberapa kali mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Astaga keyma!" Ucapnya kesal begitu melihat kain di kaki ku yang berlumur darah. Segera kak Theo membuka balutan kain dikakiku. Darah masih saja mengalir.
"Keyma.." baru saja aku ingin menjelaskan kak Theo menarikku ke mobilnya membawaku ke klinik terdekat. Aku meringis ketika dokter membersihkan luka di kakiku, rasanya begitu sakit. Kak Theo juga membawa anak anjing itu ke dokter hewan terdekat dan anak anjing itu harus lebih lama tinggal di klinik hewan.
Aku memasang sealtbelt ku, kak Theo terus memandangiku, hingga akhirnya ia menjalankan mobil yang kami tumpangi.
"Kamu nemu dimana anak anjing itu?" Tanyanya memecah keheningan diantara kami.
"Danau" kataku sedikit parau.
"Kenapa bisa sampai luka?"
Aku hanya diam tak ingin menanggapi pertanyaannya, kak Theo hanya akan marah jika aku menjelaskannya sekalipun.
"Pakai jaketnya" ia melemparkan jaket yang diambil dari bangku belakang. Aku memandangi nya sesaat, sebelum memakainya.
aku membersihkan diriku, dan memberi makan Luca, ia terlalu lama menungguku. Matanya seperti Boba saat aku menghampirinya. Aku tau Luca kesepian, walaupun aku memberi banyak mainan tapi itu tidak menghilangkan kesepiannya. Aku bermain sebentar dengan Luca kemudian mengajaknya ke kamarku untuk tidur bersama. Luca saat senang saat kami menonton serial neflik, aku memeluknya hingga ia benar benar tertidur.
Aku memeluk lututku membiarkan hembusan angin malam bermain dengan rambutku. Aku kembali membuka surat dari mama. Sepertinya mama memiliki kehidupan yang cukup menyenangkan. Aku senang mama menjadi jauh lebih baik.
🥀🥀🥀
Aku terbangun pukul lima pagi, luka dikaki ku sudah sedikit mengering, aku menyiapkan segala keperluan sekolahku. Mbak rupanya sedang menyiapkan sarapan kami untuk berdua. Aku membantunya dengan menyiapkan dua gelas susu untuk kami.
"Makasih untuk makanannya mbak!" Kataku, ia membuat sandwich buah. Rasanya sedikit asam.
"Um?" Mbak merapihkan dasiku, ia juga menyisir ulang rambutku. "Rasanya masih punya bayi dek" katanya, aku terkekeh pelan. Benar saja setiap pagi mbak selalu merapihkan tampilanku. Mbak memelukku beberapa saat sebelum melepaskannya.
"Pulang sekolah nanti tunggu mbak di halte dekat sekolah adek ya"
"Memang mau ngapain?"
"Kita makan malam diluar ya dek, udah lama mbak gak teraktir adek"
"Seriusan?!" Mbak mengangguk.
🥀🥀🥀
Rio hanya memperhatikan ku dari jauh, aku tidak tahan melihatnya. Tanganku bergemetar baru saja sebuah bola basket mengenai kepalaku dengan keras, hingga membuatku jatuh tersungkur di tanah. Semua orang mengerumuniku, kepala ku terasa begitu sakit, Karel segera membawaku ke UKS ia memopong tubuhku di punggungnya. Aku melihat semuanya berputar putar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hope One Day
General FictionSebenarnya untuk apa aku diciptakan dan dilahirkan ? Apa tuhan memberikan banyak kejutan? Apa tuhan menjanjikan kehidupan yang aku impikan? Tapi nyatanya tuhan selalu berbohong akan janjinya (Belum di revisi. Revisi bisa kapan saja)