S E P U L U H

42.3K 2.9K 25
                                    

Double up!

Enjoy❤

*****

Naora's POV

((Udah gak nangis guys jadi balik lagi ya authornya ke belakang layar))

Aku menghela napas panjang ketika melihat mataku yang begitu bengkak, besarnya mungkin bisa dibandingkan dengan bola golf. Ya, kemarin aku menangis entah sampai jam berapa, dan aku adalah tipe orang yang menangis sedikit saja matanya langsung bengkak apalagi menangis sampai beronde-ronde seperti kemarin, pasti bisa dibayangkan bagaimana bengkaknya mataku.

Aku menutup pintu kamarku pelan dan terkesiap ketika melihat Papa yang sudah duduk di bangku tak jauh dari kamarku.

"Pagi, Pap," sapaku dan langsung berjalan melewatinya.

"Daffa punya permintaan sama kamu."

Seketika aku langsung menghentikan langkahku. Oh jadi sekarang ia juga meminta permintaan seperti yang aku lakukan kemarin? Oke, fine, kita dengar apa permintaan pria misterius itu.

"Apa?" tanyaku tanpa ekspresi.

"Sini dulu dong, duduk di samping Papa, pagi-pagi mukanya cemberut gitu nanti klien pada takut lho!"

Aku menghela napasku gusar lalu mulai melangkah mendekati Papa.

"Apa?" tanyaku lagi setelah duduk cukup dekat dengan Papa.

"Dia bilang selama masa satu bulan yang kamu minta itu buat kamu juga berusaha untuk terbuka sama dia dan menyembuhkan segala penyebab kamu bersikap seperti kemarin."

Aku tersenyum sinis. Satu bulan? Berbulan-bulan saja aku belum bisa sembuh, bagaimana jika hanya satu bulan? Belum memulai saja aku sudah tahu akhirnya akan seperti apa.

"Berhasil atau tidaknya kamu melakukannya, Daffa tidak minta apa-apa, semua keputusan mau lanjut atau tidak, ada di tangan kamu," lanjut Papa.

Aku menoleh cepat. What? Bohong nih pasti, gak mungkin dong seseorang minta sesuatu tapi tidak menuntut balasan?

"Kamu iyakan saja dulu permintaannya Daffa, toh Daffa sudah mengiyakan permintaan kamu, dan juga kamu tidak dirugikan apa-apa kan jika mengiyakan peemintaan Daffa?"

Aku diam. Benar juga apa kata Papa. Baik permintaan aku atau Daffa keduanya menguntungkan diriku. Malah dengan begini aku semakin mudah untuk mengatakan bahwa aku tidak bisa menikahinya karena permintaannya tidak bisa aku kabulkan. Sungguh permintaan Daffa semakin membuat segalanya mudah.

"Oke," jawabku singkat lalu berdiri.

"Papa bilang aja ke Daffa kalau Naora oke dengan permintaannya," lanjutku lalu melangkah menjauhi Papa.

***

Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang, syukurnya pagi ini jalanan ibukota tidak terlalu menguras kesabaran, sehingga aku dapat menikmati kopi pagiku dengan damai di dalam mobil.

Aku memarkirkan mobilku di tempat biasa dan segera memasuki butik. Namun tiba-tiba langkahku terhenti ketika melihat begitu banyak buket bunga di depan meja kasir. Aku menoleh ke arah Zola yang sedang merapikan buket di mejanya.

"Cieee ada yang cowoknya romantis banget nih pagi-pagi udah ngirimin bunga sekebon!" celetukku membuat Zola kaget.

"Mbak Naora, ini bukan buat saya," jawabnya.

"Lho terus buat siapa?" tanyaku dan Zola langsung memberikan sebuah kertas padaku.

I'm sorry
-Putra

The Beginning In Our ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang