Wali sah

23K 1.3K 15
                                    

"ALHAMDULILLAH..." ucap mereka berbarengan. Senyuman pun terpasang di wajah pak Andre maupun aku.

"Kalau begitu sekalian." Pak Andre memberi kode ke ibunya. Ibuku berdiri berpindah posisi jadi aku duduk di sebelah ibunya Pak Andre.
Ibunya pak Andre mengeluarkan kotak perhiasan warna merah dan membukanya. Isinya gelang emas yang ingin di sematkan di tangan kiriku.

"Nak ibu harap setelah ini kamu tidak menerima ajakan orang lain untuk menikah karena kamu sudah diminta oleh keluarga kami." Kata ibunya pak Andre sambil memakaikan gelang itu.

"Untuk akad, kita langsungkan setelah kamu selesai melakukan yudisium. Bagaimana?" Tanya pak Andre.

"Setelah Yudisium berarti 3 bulan lagi?" Nada bicaraku agak terlalu tinggi. Wah secepat itu?

"Kenapa sayang? Kamu keberatan?" Ujar ibu.

"Cepet banget..." kataku lirih.

"Lebih cepat lebih baik." Kata ibunya pak Andre.

"Tapi danaku masih sedikit untuk acara akad."

"Nak, semua keperluan biar keluarga kami."

"Bener kata ibu, kamu nggak perlu khawatir akan hal itu. Yang penting sahnya dulu." Sahut pak Andre.
Blus... semburat merah di pipiku pasti kelihatan.

Alhamdulillah pak Andre sepemikiran denganku. Karena aku bertekad ingin punya pernikahan yang sederhana di rumah dengan suasana keakraban keluarga serta kerabat dekat tanpa adanya banyak kemewahan yang disuguhkan. Dan juga... lelah tahu ngurus acara nikahan.
Maaf curcol dikit. Dulu waktu kakakku nikah, yang jadi wedding plannernya adalah aku. Lelah, kesal dan rasanya ingin nangis pas hari H karena ada aja kejadian yang nggak diduga. Mangkanya aku bertekad jika aku nikah nanti yang penting SAH bukan WAH.

Setelah acara lamaran itu hari-hari mulai menyenangkan. Sedikit demi sedikit kami mulai menyiapkan berkas pernikahan. Tapi ada 1 hal yang harus aku selesaikan sebelum berkas di serahkan ke KUA yaitu aku harus menemui ayahku. Bagaimanapun dia yang menjadi wali sahku. Aku dan kakakku bersiap berangkat ke Jakarta untuk menemui beliau meminta ijin menikah.

"Dek, ibumu bilang kamu mau menemui ayahmu ya minggu depan?" Tanya pak Andre saat aku masih di lab menyelesaikan praktikumku.

"Iya pak, ada apa?"

"Aku ikut."

"Nggak perlu pak, saya akan selesaikan sendiri." Kataku menenangkannya.

"Dek Fia, aku tetap ikut. Bagaimanapun ayahmu juga harus kenal siapa calon suami putrinya, begitupun aku harus mengenal ayahmu." Ujar pak Andre agak keras. Aku hanya menghela nafas. Lalu aku telfon kakakku.

"Kak, ini pak Andre mau ikut kita nemuin ayah gimana?"

"Ya gak papa dek, lebih bagus." Sahut kakakku.

"Ya udah kalau gitu pesenin tiket pesawatnya untuk 3 orang ya kak." Lalu pak Andre mengambil hpku tiba-tiba dan berbicara dengan kakakku.

"Mas, biar saya aja yang beli tiketnya."

"...."

"Nggak papa mas, lagipula bentar lagi kita udah jadi keluarga." Ujarnya sambil senyum ke aku.

"..."

"Iya, assalamualaikum" telponnya pun di tutup. "Beres, aku beli tiket pesawatnya sekarang." Pak Andre pun pergi meninggalkanku yang masih bengong di lab.
Ini sifat semaunya nggak bisa hilang apa ya?

Pada hari sabtu pagi, disinilah kami bertiga tiba di Jakarta. Kami di jemput oleh temannya pak Andre yang tinggal di Jakarta. Kami di antar ke hotel dimana kami menginap sehari semalam. Sebenarnya teman pak Andre nggak keberatan jika di tumpangi tapi di tolak oleh Pak Andre yang akhirnya memesan 2 kamar di salah satu hotel tak jauh dari alamat rumah ayah.

"Kak, ayah yakin ada di rumah siang ini?" Tanyaku saat kami sedang meeting kecil-kecilan di kamar pak Andre dan Kakak.

"Harusnya, aku tadi sudah cek ke kantor, kalau sabtu jam 1 sudah pulang." Ujarnya.

"Ya sudah kalau begitu habis sholat dzuhur kita berangkat." Aku berdiri kembali ke kamarku.

Di kamar aku mengobrak-abrik tas kecilku mencari lembaran kertas yang sudah kupersiapkan. Ku cek sekali lagi jangan sampai ada tulisan yang salah dan materai harus tertempel rapi di bawah. Setelah itu aku masukkan kembali. Kurebahkan tubuhku di kasur sambil banyak beristighfar. Aku harap nanti berjalan lancar.

Adzan sholat dzuhur berkumandang, aku bergegas ambil wudhu dan sholat. Saat bermunajat tak terasa air mata mengalir. Harus kuat, Via punya Allah! Kurapikan mukena dan bajuku, bersiap untuk menemui ayah.

Kami bertiga tiba di rumah ayah, rumah minimalis walaupun tak sebesar rumah kami. Lalu ada perempuan yang membuka pintu untuk kami, sambil mengelus perutnya yang buncit menyilahkan kami masuk.

Asal kalian tahu, ayah dan ibu belum resmi bercerai. Ayah hanya menalaq ibu dua kali dan langsung pergi dengan perempuan ini tanpa mengurus perceraian di kantor agama. Ibu hanya pasrah dan ikhlas akan keputusan ini karna ibu yakin semuanya juga ada campur tangan dari Allah SWT. Berkali-kali aku meminta ibu untuk mengajukan cerai namun kata ibu permintaan itu di tolak oleh badan kepegawaian karena ibu masih berstatus pegawai negeri. Ibu pun dengan sabar menunggu, apa ayah akan kembali atau ibu mengajukan gugatan setelah ibu pensiun. Wanita yang luar biasa, aku mungkin tak akan sanggup jika menjadi ibu yang sejak aku duduk di bangku SMP sudah tak terhitung pertengkaran, kdrt serta perselingkuhan yang di lakukan oleh ayah. Hingga yang terakhir ini, ayah meminta ijin ibu untuk menikahi wanita ini tapi di tolak. Dan akhirnya ayah pergi dari rumah sudah setahun lebih dan tidak memberikan sepeserpun uang pada adik untuk kebutuhan sehari-hari.

"Buat apa kalian kemari?" Nada kasar sudah keluar dari mulut ayah melihat kami bertiga duduk di ruang tamunya.

"Aku datang kesini untuk mengabari bahwa Fia akan segera menikah dan ini adalah calonnya." Kata kakak sambil menunjuk pak Andre sedang pak Andre mengulurkan tangan untuk bersalaman pada ayah namun di tolak.

"Aku nggak peduli." Ujarnya makin geram.

"Nggak apa-apa ayah tak peduli, tapi ayah masih wali sah untuk adik-adik sampai kapanpun." Kakak masih sabar. Aku sudah menahan marah.

"Buat apa, toh kalian juga anak-anak yang nggak berguna!" Katanya makin menjadi-jadi. Ku keluarkan kertas yang aku sudah siapkan yaitu surat pernyataan yang menyatakan bahwa ayah tidak bersedia menjadi wali aku dan adik.

"Kalau begitu ayah tanda tangani surat ini." Kusodorkan surat itu. Dibaca sekilas oleh ayah. "Surat ini menyatakan bahwa ayah tidak mau menjadi wali nikah aku maupun adik." Dengan segera ia menandatangani surat itu. Aku tak habis pikir apa yang membuatnya begitu membenci kami, anak-anaknya. Tak pernah sekalipun kami mengecewakan beliau. Di sekolah kami cukup berprestasi, kami juga tak pernah masuk ke pergaulan yang nggak seharusnya serta sedikitpun tak pernah mempermalukan nama baik keluarga. Tapi sejak ayah dengan perempuan lain semuanya serba salah. Apapun yang kami lakukan di matanya tak pernah benar. Semoga Allah masih memberi kami kekuatan untuk memaafkan semuanya.

"Percuma punya anak, nggak ada yang ngerti orang tua. Bang****!" Sambil melempar kertas itu di depan mukaku. Astagfirullah. Akupun merapikan kertas tadi dan berdiri.

"Semoga ayah tak menyesal dengan segala keputusan yang telah ayah ambil." Aku melirik perut buncit perempuan yang menjadi simpanan ayah berdiri di dekat pintu. "Kasihan nasib kamu, semoga kamu sehat selalu." Ujarku pada calon jabang bayi di perutnya dan berlalu.

Di dalam mobil kami bertiga hanya diam, sesekali pak Andre menoleh ke belakang kepadaku. Aku masih diam memandang keluar jendela. Jujur tubuhku agak bergetar, menahan segala emosi yang ada. Sesampainya di hotel, kakak maupun pak Andre mengikutiku ke kamarku. Aku langsung terjatuh di samping tempat tidur dan histeris. Air mataku tumpah semua. Tubuhku bergetar hebat. Segala emosi aku keluarkan. Kakakku memelukku erat dan menepuk-nepuk punggungku kecil.

"Sudah dek, sudah..." kata kakak berkali-kali. Beberapa menit kemudian aku mulai tenang dan kakak menuntunku berbaring di kasur sambil menyelimutiku. Kupaksa mata ini menutup sambil menenangkan diri.

"Beginilah Fia jika terlalu marah. Aku harap nanti kamu tak membuatnya menangis." Ujar kakak pada Pak Andre. Lalu kudengar mereka berdua keluar dari kamarku.

Bertemu di AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang