Pasangan halal

25K 1.3K 6
                                    

Setelah kami berganti baju resepsi kami menuju ke kebun samping rumah yang disulap jadi tempat resepsi kecil-kecilan. Tamu yang hadir lebih banyak dari saat acara akad nikah tadi. Kuade kecil jadi tempat kami ngobrol sepatah dua kata dengan para tamu undangan. Hampir 80% orang yang kami undang hadir. Tak lupa sesi foto yang nggak terhitung berapa banyak.

"Ayahmu nggak dateng Fi?" Tanya Tante Mita, salah satu keluarga dari ibu. Aku hanya menggeleng.

"Ayah memang nggak mau hadir tante. Nggak apa-apa." Suami tante Mita memegang tangan mas Andre erat.

"Jaga keponakan kita ya mas." Ujarnya.

"Insya allah, om."

Ini sudah jadi takdirku, semarah apapun, sekesal apapun aku tetap merasa sedih, sedikit. Bagaimanapun aku seorang anak. Ingin saat di hari besarku, keluargaku lengkap namun apa daya. Beberapa tamu menanyakan kehadiran ayahku, terutama dari keluarga besarku maupun keluarga besar mas Andre.

"Ada urusan penting di luar kota, jadi tidak bisa hadir." Jawaban yang selalu di lontarkan mas Andre saat keluarganya bertanya.

"Ia memang nggak mau hadir." Jawaban singkatku membungkam keluargaku termasuk beberapa keluarga ayah, yang dengan permintaan ibu, untuk mengundang mereka.

Ah sudahlah, ini hari bahagia dalam hidupku, aku tak ingin bersedih atau menunjukkan ekspresi sedih.

"Dek, capek ya?" Bisik mas Andre saat aku duduk sambil meneguk botol minum yang di siapkan oleh dek April.

"Dikit, kakiku pegal, mas." Mas Andre memegang tanganku.

"Bentar lagi selesai. Sabar ya, manis."

Mendekati tengah hari, tamu mulai berkurang. Dan yang jelas agak lega. Lalu fotografer mengajak membuat foto after wedding yang lucu dan seru. Mas Andre paling semangat untuk pose yang aneh-aneh, aku baru sadar kalau dia sama sekali nggak jaim. Sedangkan aku lebih malu dari biasanya dan mungkin efek lelah jadinya agak males.

Adzan sholat dzuhur pun berkumandang, tinggal beberapa undangan dan aku sudah turun dari kuade. Ibu mertua dan keluarga kak Amel berpamitan pulang.

"Fia, kami pamit ya. Nitip Andre. Aku pesen ponakan cowok ya buat temen main Dinda." Bisik kak Amel. Blush.

"Andre, jangan terlalu ngerepotin istrimu ya." Pesan ibu mertua.

"Siap bu. Makasih ya kak udah bantuin." Mas Andre memeluk kak Amel dan tentu aja kak Amel jadi mewek.

"Kamu jadi suami yang baik lho ya!" Sambil melepas pelukannya.

"Iya... iya..." mereka pun pulang.

Untuk sementara mas Andre tinggal di rumah keluargaku sampai waktunya kami pindah.
Lalu aku berganti baju dan membersihkan make up ku. Sedang mas Andre masih ngobrol dengan ibu dan anggota keluarga lain di kebun yang sudah hampir kembali seperti semula karena pihak wedding organizer yang membereskan.

Aku memakai kaus lengan panjang dan celana panjang serta jilbab. Mengambil air wudhu untuk sholat dzuhur di kamar. Setelah selesai sholat, aku tak tahu kalau mas Andre sudah duduk bersandar di belakangku.

"Dek, kok nggak nungguin mas sholat berjamaah sih?"

"Ah... maaf mas. Lupa."

"Lupa apa?" Sambil membelai mukenaku. "Jangan bilang kamu lupa kalau udah punya suami?!" Aku kembali berbalik memunggunginya karena malu. Iya sih agak lupa, biasanya sholat kalau nggak sama adek ya sendiri.

"Padahal belum satu hari nikah, sudah di lupain." Mas Andre berdiri akan meninggalkan ruangan.

"Maaf mas..." aku memeluknya dari belakang. Ia melepaskan tanganku dan berbalik memelukku.

"Kedepannya saling mengingatkan ya." Aku mengangguk di pelukannya. Setelah itu mas Andre sholat sendiri sedangkan aku membereskan kamar yang agak berantakan karena tadi juga dipakai sesi foto. Aku berdiri sambil memandang seserahan yang masih rapi.

"Kenapa dek?" Aku masih memandang seserahan itu.

"Aku yang ngehias, jadi sayang kalau di bongkar." Ujarku. Mas Andre mencubit pipiku dan tertawa.

"Terus mau di jadiin pajangan?"

"Lha terus gimana..."

"Ya sudah sini aku bantu bongkar." Akhirnya dibongkar juga. Kami sambil ngobrol tentang acara nikah tadi. Sambil mengingat-ingat siapa saja yang datang dan kedudukan di keluarga sehingga nanti kalau ketemu lagi nggak lupa.

Setelah membongkar, aku menata barang-barang tersebut untuk di letakkan di tempatnya. Lalu mas Andre menyuruhku duduk di tempat tidur. Malu-malu akupun duduk di sebelahnya.

"Dek, ini maharnya mohon selalu dipakai ya." Sambil memakaikan mahar berupa kalung dan cincin.

"Mas, adek boleh tanya nggak?"

"Hmmm..."

"Kenapa berat perhiasannya 18 gram?"

"Kenapa dek? Kurang ya?" Saat memakaikan kalung dileherku ia menyentuh liontin berbentuk hati itu. Aku menggeleng.

"Bukan itu maksudku mas, tapi ada yang istimewa kah dengan angka 18? Kalau lihat tanggal hari ini jelas bukan." Ia memandangku dan tersenyum.

"Juga bukan tanggal pas aku melamarmu." Lanjutnya sambil masih tersenyum. Aku jadi penasaran arti 18.

"Terus apa?" Aku menggenggam tangannya seperti merengek. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Nanti aja, sekarang ayo makan dulu. Aku lapar." Ia beranjak dan tertawa. Aku kesal tapi mengikutinya keluar kamar dan turun ke lantai satu menuju ruang makan.

Di meja makan penuh dengan makanan sisa katering tadi, tapi nasinya di bawa oleh pemilik katering jadi hanya lauk pauk saja yang di tinggal. Mas Andre mengambil banyak jenis makanan dan aku hanya mencomot beberapa olahan daging dan sayur.

"Kelaperan pasti ya, tadi pagi nggak sarapan?" Celetuk ibu melihat piring mas Andre yang agak menggunung.

"Makan roti dan minum bu, terlalu nervous jadi nggak selera makan." Ujarnya sambil tertawa kecil.

"Hmmm... lha kamu kenapa kayak mainan gitu mbak makannya?" Ibu melihat piringku.

"Masih kenyang."

"Kamu lho cuma makan roti dari tadi, kenyang dari mana?!"

"Dek kalau kamu sakit lagi gimana? Apa mau aku suapin?" Kata mas Andre. Aku langsung menunduk malu. Akhirnya aku menambah lauk dan sayur lagi. Mas Andre tersenyum puas saat melihat aku makan dengan lahap.

"Aku juga laper!" April langsung duduk di sebelahku dan mengambil makanan.

"Dek, awas lho pipimu ntar makin jatoh!" Godaku.

"Apaan sih mbak?! Mbak tuh jangan kurus-kurus, mana enak meluk tulang?!" Mendengar sidiran April, mas Andre tertawa. Aku memukul pelan lengan mas Andre.

"Mas Andre kok ketawa sih!" Aku cemberut.

"Habis lucu, jadi inget dulu waktu aku kecil masih berantem sama kak Amel. Tapi apa yang dibilang April itu bener." Godanya.

"Asal mas tahu mbak dulu gemuk waktu SMA. Tapi setelah kuliah dia mati-matian ngurusin badan. Jadi jangan sedih kalau mbak sekarang kurus soalnya dia gampang banget gendutnya."

"Siip, paling nggak enak di peluk." Puas banget mereka ngeledekin aku.
Lalu kami kembali makan, aku ambil minum untuk mas Andre lalu menyelesaikan makanku dan membereskan piring mas Andre.

Bertemu di AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang