Iri

41.1K 2.1K 8
                                    

Besoknya aku bertemu dengan sahabat-sahabatku, Ina, Indri dan Caca, ketiganya sudah punya suami, bahkan Ina dan Indri sudah punya anak yang lucu-lucu. Jadi di kumpulan ini hanya tinggal aku yang single alias belum menikah. Saat berkumpul seperti ini aku hanya menjadi obat nyamuk karena topik pembicaraan mereka pasti tentang rumah tangga, seperti suaminya seperti ini, tingkah anaknya seperti itu dan lain sebagainya lalu ujung-ujungnya menyuruhku untuk segera menikah supaya bisa merasakan sendiri menjadi seorang istri dan ibu. Dimata mereka aku dianggap terlalu takut untuk berkomitmen.

Sama halnya dengan anggota keluargaku yang lain, setelah kakakku menikah semua mata tertuju padaku sambil bertanya, "Kapan nyusul?" Ugh! Awalnya aku tidak terlalu terganggu dengan ini, tapi lama-kelamaan sedikit terganggu.

"Di lingkungan baru, tidak mungkin tidak ada yang menggoda hatimu?" senggol Ina sambil menggendong anaknya. Aku hanya mengangkat bahu acuh.

Tuh Kan, lagi-lagi kembali kepadaku. Sesungguhnya aku bukannya takut berkomitmen tapi aku hanya belum menemukan sosok yang tepat dan pula menikah bukan hal yang mudah seperti main rumah-rumahan. Aku juga ingin segera menikah tapi aku bisa apa kalau Allah SWT belum mempertemukan dengan jodohku.

Tak bisa ku pungkiri kalau aku kadang iri dengan mereka yang memiliki keluarga sendiri, ada lengan yang siap memeluk saat aku merasa takut, ada bahu tempat bersandar saat aku lemah, ada canda gurau yang aku lontarkan padanya saat kami merasa lelah dan telingaku yang siap mendengar keluh kesahnya setelah seharian mencari nafkah untukku.

Aku tahu bahwa aku bukan perempuan yang pandai memasak, berdandan ataupun feminism seperti gadis-gadis lainnya, namun aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk menjadi istri dan calon ibu yang baik. Sekarang aku mulai berusaha semakin memperbaiki diri supaya pantas bersanding dengan jodohku kelak.

"Dari tadi, diem saja!" kata Caca di perjalanan pulang, aku memberinya tumpangan untuk pulang karena rumah kami searah.

"Inginnya ikut bicara tapi topiknya tidak ada yang sesuai, ya aku diem."

"Hahaha... sorry, maklum ibu RT (rumah tangga). Jadi kangen masa dulu ya, kita ngobrol tentang kuliah, temen-temen atau hal-hal remeh."

"Iya... tapi itu dulu..."

"Eh, kan kamu sekarang mahasiswa baru, kapan malam keakrabannya?"

"Minggu depan."

"Dimana?"

"Di Villa di Pacet."

"Bagus, tambah temen yang banyak, laki-laki di jurusan teknik pasti banyak. Jangan galak-galak sama mereka, jadi mungkin nanti ada yang..."

"Yang nyantol?! Iya... iya... tahu." kataku ketus. Bahuku di tepuk dari belakang.

"Dibilangin jangan galak-galak." ia tertawa.

Belum juga sampai di rumah, hp ku bergetar. Setelah memasukkan motor ke dalam rumah sambil berjalan menuju kamar, aku mengecek hp ku.

Ternyata ada WA dari Siska, mahasiswa reguler angkatan 2015. Kami sekelas karena ada mata kuliah yang aku ambil dengan anak angkatan 2015 reguler kelas pagi.

Anak ini menjadikanku tempat curhat dari masalah kuliah hingga curhat bahwa dia selama ini telah menyukai pak Andre. Padahal dia sendiri sudah punya pacar. Agak aneh menurutku karena sepertinya ia hanya main-main dengan perasaan orang maupun perasaannya sendiri. Lebih anehnya lagi adalah aku yang mau meladeni untuk mendengarkan setiap curhatannya. Aku memang mudah di jadikan tempat curhat.

'Kamu tuh pendengar setia.' Kata Caca dulu menilaiku.

Siska jr TL :
'Mbak ikut Makrab kan?'
'ikut kan?'
'iyakan?'
'balas dong mbak...'
'mbak.'

Duh banyak sekali chat anak ini,
Fia :
'Iya, ikut. Kenapa memangnya?'

Siska jr TL :
'Aku membuat keputusan untuk menyatakan cinta pada pak Andre mbak!'

Aku membelalakkan mata melihat tulisan di layar hp ku itu.

'Anak ini, benar-benar baik-baik saja kan?' batinku.

Fia :
'Yakin?'

Siska jr TL :
'Suasananya sangat mendukung mbak, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.'

Fia :
'Ok, Good Luck!'

Anak ini terlalu berani, aku harap ia tak melakukannya. Bukan karena aku juga memiliki perasaan pada beliau tapi ini bisa mempengaruhi hubungan dosen dan mahasiswa nantinya. Tapi kalau memang ia menyatakan cinta pada pak Andre, kejujurannya boleh di acungi jempol. Aku juga jadi penasaran dengan jawabannya apa yang akan pak Andre lontarkan padanya.

Bertemu di AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang