Kutarik dengan paksa bibir ini untuk membentuk senyuman, perasaan gugup semakin terasa. Aku keluar dari mobil dan mengikuti pak Andre dari belakang. Rumah berlantai dua dengan gaya minimalis cat putih dan hitam. Tentu lebih besar dari rumahku, ya mungkin karena memang ini di perumahan. Ini pertama kalinya aku ke rumah pak Andre dan bertemu orang tuanya. Di teras ada wanita paruh baya sedang duduk sambil bercanda dengan bocah yang baru bisa berjalan.
"Oh, itu om Andre datang!" serunya saat kami melewati gerbang.
Pak Andre di sambut oleh bocah tersebut lari ke arahanya, pak Andre langsung menggendongnya. Aku tersenyum melihatnya. Aku paling suka melihat laki-laki yang dapat dekat dengan anak kecil, aura kebapakannya keluar. Pak Andre asik dengan keponakannya, wanita paruh baya itu menghampiriku. Aku memandang beliau hati-hati sambil menyuguhkan senyum namun aku yakin senyumku terlihat kaku.
"Ah, ini yang namanya Fia??" sambil mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangannya.
"Iya, nama saya Fia."
"Cantiknya, ayo kita ngobrol didalam sambil makan siang." Aku pun digiring oleh ibunya Pak Andre untuk masuk kedalam rumah.
Suasana rumah terasa tenang karena tak banyak perbotan jadi terlihat lebih luas serta masih didominasi oleh warna putih. Kami menuju ke ruang makan dimana letaknya berdekatan dengan kolam ikan disamping rumah. Di ruang makan sudah ada perempuan dan laki-laki yang sedang menata meja.
"Akhirnya ketemu juga." Kata perempuan muda itu setelah menoleh ke arah kami, aku rasa dia adalah kakakknya pak Andre yang menghampiriku dan cipika cipiki terhadapku.
Syukurlah sepertinya aku diterima baik oleh keluarga pak Andre.
"Ayo silahkan duduk, kita makan siang sama-sama." Ujar perempuan tadi.
Pak Andre duduk di sebelahku dimana didepan ku ada kakak perempuannya dan suaminya lalu ibu pak andre duduk di ujung meja. Setelah berdoa, kami memulai makan siang bersama. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan di kampus, sesekali pak Andre juga melontarkan gurauan. Suasana begitu menyenangkan, ini tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya.
"Andre kalau di kampus galak ya dek Fia?" tanya Kak Rani. Aku tersenyum sekilas.
"Hmmm... lebih tepatnya jaim kak." jawabku sambil melirik sekilas ke Pak Andre.
Memang seperti itulah kenyataannya, sebenernya sih kesan pertamaku begitu. Sok kecakepan, padahal sih emang cakep.
"Bukan jaim tapi berwibawa, aku kan dosen." sanggah pak Andre diikuti oleh suara tawa dari semuanya.
"Lagi pula Fia juga cuek dan selalu pasang wajah judes. Aku jadi bingung mau mulai ngomong." Lanjut pak Andre
Oh, begitu ternyata kesan pertamanya padaku tapi memang begitulah aku, topeng yang kupasang harus kuat untuk mencegah orang-orang yang ingin berbuat seenaknya padaku. Ini merupakan tips dari sahabat-sahabatku, mereka bilang aku terlalu baik hingga tak jarang waktu aku masih SMA sering dimanfaatkan oleh teman-teman yang hanya mau ambil untungnya saja. Maka dari itu selalu kupasang wajah ini.
"Ibu lihat Fia nggak ada tampang judes.." kata ibu pak Andre sambil memperhatikan raut wajahku. "Tapi itu bagus juga nak, jadi biar nggak ada yang ganguin kamu, termasuk anak ibu." aku tersenyum.
"Ibu..." sahut pak Andre seperti merengek. Lalu kami semua tertawa.
Setelah makan siang kami duduk-duduk di taman luar, Kak Rani dan suami serta gadis mungilnya bermain ayunan, sedangkan aku dan Pak Andre duduk di bangku yang tidak jauh dari mereka sedangkan ibu pak Andre istirahat di kamar karena sedang kurang enak badan. Kami ngobrol banyak tentang kebiasaan Pak Andre di rumah. Aku baru tahu ternyata Ayahnya meninggal 2 tahun lalu karena sakit dan Pak Andre begitu kehilangan sosok panutan baginya. Mendengarnya bercerita tentang ayahnya dengan raut bahagia, serta melihat gadis kecil yang tak jauh dari pandangan kami sedang di peluk sambil tertawa-tawa, membuat aku merasa iri. Perasaan iri bahwa ada orang yang dapat bercerita tentang ayah atau bahagia bersama ayahnya.
"Kenapa Fia? Wajahmu kok sedih?" tanya pak Andre tiba-tiba. Ku tatap matanya dan tersenyum sambil menggeleng. "Kalau Fia sendiri bagaimana? Pasti kangen banget ya sama ayah yang kerja di luar pulau?"
Aku hampir saja berdecak sinis, sejujurnya, sedikitpun aku tak meridukannya.
"Hmmm... begitulah." Aku berbohong.
Perasaan minder dan takut ini menyergapiku seketika. Tak dapat aku pungkiri bahwa aku ingin terlihat baik didepannya namun apa yang akan terjadi jika ia tahu yang sebenarnya?
"Bang Andre!!!" teriak seorang perempuan sambil berlari kecil menuju kami.
"Dari tadi pagi kemana aja sih?" dia langsung berdiri didepan pak Andre. Ia melirikku, "Eh, ada tamu. Siapa?" tunjukknya.
"Ah, kenalin ini Fia, dan ini adik sepupuku, Chika." kami diperkenalkan satu sama lain. "Kamu nggak sopan nunjuk gitu." sambil menurunkan tangan gadis itu. Aku hanya tersenyum sambil mengulurkan tangan.
"Jadi ini perempuan yang Abang taksir?!!" dia agak histeris sebenarnya dan mengabaikan uluran tangaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertemu di Akad
Roman d'amourYang membuatku terkejut bukanlah si pengawas itu datang tiba-tiba namun, yang jadi pengawas adalah Pak Andre. Dosen yang telah membuat hatiku kacau sejak 2 hari yang lalu.