“Lo emang paling konsisten bilang gue keren main
perkusi dari dulu. Dan gue juga konsisten buat
jadiin lo istri gue dari dulu.”Agustus 2005
Setiap tanggal 17 Agustus, pihak sekolah pasti selalu
mengadakan upacara Hari Kemerdekaan dan setelahnya disusul
oleh penampilan khusus yang dipersembahkan oleh tiap kelas
atau ekskul. Untuk murid kelas satu, tidak banyak yang benar-
benar mengajukan diri untuk tampil di lapangan sekolah dan
dilihat oleh tiga angkatan. Malu, risi, dan merasa tidak bisa apa-
apa masih mendominasi mereka.Kalaupun ada yang maju,
kebanyakan perintah wali kelasnya.
Namun berbeda dengan Ditto. Ia dan beberapa temannya
yang bisa bermain alat musik sepakat untuk memberikan
pertunjukkan musik di tengah lapangan. Ditto tentu dengan alat
perkusinya. Yang membuatnya jadi sorotan sebagian besar muroid
SMA 82.
Peserta upacara yang tidak tampil diberi tempat di pinggir
lapangan dan koridor-koridor yang menghadap lapangan. Di
situlah Ayu duduk berkerumun bersama teman-teman sekelasnya
sambil menggunakan topi sebagai kipas. Matahari cukup terik
pagi itu, namun tak menyurutkan semangat pihak sekolah yang
ingin mendorong para muridnya untuk berani tampil di depan
umum. Penam[pilan pertama dibuka oleh ekskul Saman. Minggu
lalu Ayu mendaftar sebagai anggota baru dan kini melihat
penampilan ekskulnya pertama kali di depan public. Kekompakan
Saman dan kombinasi gerakan yang begitu menyihir membuatnya
bersemangat untuk mengikuti ekskul tersebut.
“Lo jadi ikut ekskul Saman, kan?” tanya Icha teman
sekelasnya, yang duduk di sampingnya.
Ayu mengangguk seraya mengencangkan kuncir ekor
kudanya. Gaya rambutnya masih tetap sama dengan saat ia masih
SMP, walaupun gaya berpakaiannya saat ini sudah agak lebih baik
daripada SMP dulu. Setidaknya seragamnya kali ini tidak terlalu
gombrong.
“Eh, liat, liat. Itu temen lo yang anak kelas sebelah itu,
kan?”
Perhatian Ayu langsung tertuju ke tengah lapangan, ke
tempat Ditto dan teman-teman sekelasnya mulai unjuk kebolehan.
Kelas Ditto menampilkan band kelas untuk perayaan Hari
Kemerdekaan saat ini. Ayu bisa mendengar banyak perempuan
yang bersorak heboh ketika Ditto menabuh perkusinya dengan
mantap.
Ayu melihat pertunjukan tersebut dengan penuh minat. Ia
yakin, tidak akan sulit unutk Ditto ke dalam jajaran angota band
sekolah, seperti saat dulu SMP.
***
“Gila, keren banget kan gue?”“Lo udah ngomong begitu ratusan kali, To,” ejek Ayu.
“Freak lo.”
Diejek begitu, Ditto hanya tertawa. “Lo tuh yang freak.”
“Jadi, sekarang lo gabung sama band sekolah?” tanya Ayu,
mengabaikan balasan Ditto barusan.
“Iya, gue didatengin langsung sama mereka ke kelas,”
jawab Ditto, teringat seminggu setelah perayaan 17 Agustus
kemarin, seniornya dari band sekolah mereka langsung
mendatanginya di kelas untuk merekrutnya. “Gue satu-satunya
junior, man!”
Ayu menepuk bahu Ditto dengan bangga. “Keren
lo,keren.”
“Siapa dulu!”
“Nggak usah belagu juga tapi,” cemooh Ayu. Ia memukul
lengan atas Ditto dengan keras hingga cowok itu mendelik ke
arahnya. “Udah ah, gue balik dulu,” katanya lagi saat melihat
taksi kosong melintas dan berhenti di depan mereka.
“Duluan ,ya!”
“Iya!”
Ditto menatap kepergian Ayu selama beberapa saat
sebelum kembali ke dalam sekolah, bersiap latihan perdana
dengan band barunya saat ini.
Seperti yang selama setengah jam tadi ia jelaskan pada
Ayu sambil menunggui cewek itu mendapatkan taksi untuk
pulang, sesuai pertunjukkannya di Hari Kemerdekaan waktu itu,
anggota band sekolah mendatanginya.
Sudah jadi rahasia umum kalau tidak mungkin ada junior
yang langsung bergabung menjadi anggota band sejak dulu.
Dan sekarang, ada, hanya Ditto seorang. Karena belum
ada yang bisa dan sudah berpengalaman bermain perkusi. Tentu
hal ini akan membawa angina segar bagi band sekolah mereka.
Saat melewati area pinggir lapangan, Ditto berhenti
sebentar. Menatap ke sekumpulan cewek kelas satu yang sedang
melakukan dribble di separuh bagian lapangan. Di dalam satu
ekskul pasti akan terlihat mana yang masih kelas satu karena
mereka masih belum pakai seragam atau atribut lain yang
menandakan ekskul tersebut.
Seperti ekskul basket ini, untuk yang sudah susuk di kelas
dua atau tiga, mereka memakai jersey sekolah dengan nomor
punggung dan nama mereka di bagian punggung. Di bagian depan
jersey tersebut tercetak logo sekolah mereka.
Sedangkan yang kelas satu, ada yang memakai kaus dan
celana training, ada juga yang memakai jersey SMP mereka.
“Bengong aja.”
Teguran itu membuat Ditto menoleh, mendapati seorang
cewek dengan jersey hitam bergaris tepi warna emas kini berdiri
di sebelahnya. Napasnya tersengal, rambutnya yang dikuncir kuda
berantakan dan mencuat keluar dari kuncirnya, di tangannya ada
bola basket.
“Ngeliat doang,” sahut Ditto. Ia memperhatikan cewek di
sebelahnya dengan lebih saksama. “Lo Icha, kan? Temen
sekelasnya Ucha?”
Cewek itu mengangguk, membuat rambutnya yang
dikuncir ikut bergoyang. “Lo anak kelas sebelah, kan? Yang
sekarang jadi anak band?”
Ditto nyengir lebar. Reputasinya meningkat tajam karena
perekrutannya setelah penampilan di Hari Kemerdekaan lalu.
“Iya.” Ia pun mengeluarkan ponsel dari saku sebelum Icha
beranjak kembali ke lapangan. “Eh, gue minta nomor lo, dong.”
***
Jangan lupa like sama komentar nyaa yah

KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN TAPI MENIKAH
RomanceProlog "Gue kira lo nggak balik ke sini," ujar Ayu begitu melihat sosok Ditto. Perhatian Ayu kembali kepada Ditto. Saat kedua mata sahabatnya menatap tetap di manik matanya, Ditto tertegun sesaat. Kemudian, keberanian yang tak pernah terkumpul sela...