“Tujuan hidup gue adalah lo. Menikahi lo adalah
anugerah buat gue.”November 2005
“Lo nyari pacar apa kabel telepon, sih?”
Ayu ingin sekali menabok sahabatnya itu. Tapi yang ia
lakukan hanya menoyor kepala Ditto dengan sebal. “Heh, lo pikir
mana ada orang mau pacaran tapi kali ngobrol bener-bener nggak
nyambung? Sama aja kayak pacaran bareng tembok.”
Kantin saat itu tidak begitu ramai. Jelas, ini masih jam
pelajaran bagi sebagian kelas. Kecuali kelas Ayu dan Ditto,
kebetulan kedua guru yang seharusnya mengisi kelas mereka
tersebut sedang rapat dan hanya memberikan tugas.
Yang tidak dikerjakan oleh mereka yang memilih untuk
kabur ke kantin.
“Dari dulu juga seringnya lo gitu, ujung-ujungnya putus karena
‘nggak nyambung’.”
“Ngapain juga kalo udah nggak nyambung malah dilama-
lamain.”
“Ya udah, besok kalo lo ketemu sama cowok lo, putusin
aja langsung.”
Ayu tak menggubris ucapan Ditto. Ia memilih untuk
menyesap es tehnya selagi Ditto berceloteh tentang cowok-tuh-di
mana-mana-sama-semua, tatapannya justru terpaku pada
ponselnya. Ali, pacarnya selama kurang lebih lama bulan itu, saja mengirimkan pesan. Ia dan Ali sudah berpadacaran kurang
lebih selama lima bulan. Cowok berkulit putih dan memiliki raut
wajah bernuansa Timur Tengah itu beda sekolah dengannya.
Mereka bertemu di lokasi syuting, cinta lokasi, kalau kata orang-
orang.
Setelah percakapannya dengan Ali selesai, ia mendapati
Icha sudah duduk di hadapannya, berdua dengan Ditto.
Sejak kapan Icha ada di sini?
Dan terlihat jelas kalau gelagat mereka bukan seperti
teman-antar-kelas biasa.
Mata Ayu menyipit dan ia memanggil temannya tersebut.
“Icha?”
“Apa, Yu?” tanya Icha yang segera menoleh. Cewek
rambut sebahu itu menatap Ayu dengan bingung karena nada
suara Ayu tidak seperti biasanya. Ayu seperti sedang memastikan
ia adalah Icha yang teman sekelasnya atau orang lain.
“Lo ngapain?”
“Abis beli es teh,” jawab Icha sambil mengangkat plastic
esnya. “Lo dari tadi asyik SMS-an sih makanya nggak liat gue di
sini.”
Bukan itu maksudnya, Ayu ingin membantah jawaban
Icha. Namun ia memilih diam. Icha pun tidak membaca raut
wajah Ayu yang bingung dan heran, ia kembali berpaling ke Ditto
dan tersenyum.
“Jadi kan malem Minggu nanti?”
“Jadi,” jawab Ditto sambil tersenyum. “Dandan yang
cakep, ya.”
Icha tertawa dan menonjok lengan atas Ditto dengan
pelan. “Iya, iya. Aku ke lapangan dulu, ya. Mau nonton anak
kelas dua lagi sparing basket.”
“Oke.”
“Gue duluan ya, Yu,” pamit Icha kepada Ayu, “Jangan
lupa masuk kelas lagi lo setengah jam lagi. Entar kebablasan
bolos.”
Ayu hanya nyengir sebagai jawaban, kemudian ia
membiarkan Icha ke lapangan. Setelah Icha tidak ada, baru ia
beralih ke Ditto. “Malem minggu? Beneran?”
“Apaan?”
“Lo jadian sama Icha?” todong Ayu. “Sejak kapan?”
“Ditto cengengesan. “Belum lama, elah.”
“Kok tiba-tiba sama Icha, sih?”
Ditto menyisir rambutnya yang mulai panjang dengan
jemarinya. “Lo aja kali yang nggak nyadar.”
“Masa?” Ayu masih sangsi, matanya tetap menyipit,
menatap Ditto dengan curiga. Namun yang diatap akhirnya hanya
tertawa.
“Kenapa sih emangnya?” Ditto malah balik bertanya.
“Ya nggak apa-apa. Gue cuma kaget aja, tiba-tiba lo sama
Icha duduk di depan gue kayak orang pacaran. Padahal Icha, kan,
teman sekelas gue sendiri, kok bisa gue nggak tahu?”
Untuk pertanyaan terakhir, Ditto mengedikkan bahunya
sebagai jawaban. Melihat jawaban itu Ayu pun tak mendorong
Ditto untuk menjawab lagi pertanyannya.
***
“Gue kira Ditto udah ngasih tahu lo sejak awal,” tutur Icha
sembari masih menyalin tulisan guru mereka yang terpampang di
papan tulis.
“Gue baru tahu pas waktu itu di kantin,” jawab Ayu,
tangannya terus bergerak menulis materi yang seabrek itu.
Hari ini guru Sejarah mereka sedang tidak menjelaskan
seperti biasa. Jadi ia menyalin materi yang harusnya hari ini ia
jelaskan ke papan tulis, kemudian menyuruh semua murid untuk
menyalin di buku tulis masing-masing. Suasana kelas sedikit
ramai walau tangan-tangan itu tetap harus menulis.
Ayu dan Icha duduk sebangku sejak pertama kali hari
masuk dengan seragam putih-abu di SMA 82. Selain Ditto, Icha
juga teman yang dekat dengannya di sekolah ini. Ayu sudah
sering bercerita mengenai persahabatannya dengan Ditto kepada
Icha. Tapi Ayu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kedua
orang itu akan…pacaran seperti sekarang.
“Kok bisa?”
“Ditto keren,” puji Icha terang-terangan. “Ya kali gue
nolak dia.”
“Ya kali lo nerima dia.”
Icha hanya tertawa. “Ngerestuin kan gue sama sahabat
lo?”
“Emang gue emaknya, ngasih restu segala?”
Ayu memang cenderung cuek, jadi jawabannya sama
sekali tidak dianggap sinis oleh Icha yang notabene sudah tahu
Ayu seperti apa. Icha tertawa, kemudian merangkul bahu Ayu
sambil berkata, “Thanks banget lho, Ca.”
Bisingnya jalan raya di depan SMA 82 hampir tidak terdengar
karena keriuhan siswa junior yang masih excited dengan kegiatan
ekskul. Sore hari di bulan November ini kebetulan tidak berhujan.
Menguntungkan ekskul yang bersifat outdoor karena tidak harus
menggeser jadwal kegiatan atau memindahkannya.
Hari ini ekskul futsal yang mendapat giliran latihan di
lapangan. Ekskul basker sendiri sedang ikut pertandingan dengan
sekolah lain di GOR. Ekskul futsal sore ini memutuskan untuk
latihan dua kali pertandingan di lapangan sekolah. Dua minggu
kemarin cuaca benar-benar tak bersahabat, sehingga mereka
memutuskan menyewa lapangan indoor tanpa merasakan sensasi
terik matahari.
Ditto mengelap peluh di keningnya ke lengan jersey saat
melihat Ayu yang keluar dari ruang seni, yang terletak tepat di
pinggir lapangan berdampingan degan ruangan ekskul PMR dan
Pramuka.
Ia melambaikan tangan dan berteriak, “Ucha!”
Ayu yang tadinya sedang mengobrol dengan temannya,
langsung menoleh ke lapangan. Ia balas melambaikan tangan,
kemudian lanjut mengobrol lagi sebelum akhirnya memisahkan
diri dari teman-temannya yang mau ke kantin.
Seminggu kemarin ia tidak benar-benar punya waktu
mengobrol dengan Ditto. Pulang sekolah langsung pergi ke lokasi
syuting. Tidak ada jadwal pelajaran yang gurunya absen, sehingga
ia bisa bolos bernama Ditto ke kantin seperti biasanya. Juga
waktu istirahat lebih banyak digunakan untuk makan bersama
temannya sambil membicarakan tugas.
“Ke Wartam, yuk,” ajak Ditto saat Ayu tiba di pinggir
lapangan. Pertandingan timnya sudah selesai dan giliran dua tim
lain yang akan bertanding. “Lo udah kelar, kan?”
“Udah, kok. Gue ambil tas dulu.”
Ditto mengangguk dan membiarkan Ayu kembali ke ruang
seni, sementara ia meraih handuk kecil dari dalam tas untuk
mengelap keringatnya dan mencangklong tasnya di satu bahu.
Pamit untuk pulang lebih dulu kepada pelatih dan seniornya yang
mengiyakan saja.
Ketika keluar dari lapangan, Ayu juga sudah siap dengan
tasnya. Berdua mereka menuju ke Wartam, sebuah warung kecil
yang ada di depan sekolahnya.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke Wartam. Mereka
duduk di bangku panjang yang berhadapan dengan meja kayu
yang sama panjangnya dengan kursi di antara mereka.
Di meja lain, banyak siswa SMA 82 yang juga sedang
nongkrong. Gosipnya, perencanaan tawuran sekolah sering
dilaksanakan di sini—walau kadang sering kena labrak guru
mereka.
“Icha mana, To?”
“Ikut ke GOR, jadi anggota cadangan tim yang lagi main.”
Ayu manggut-manggut, lalu tiba-tiba berkata, “Gue udah
putus sama Ali.”
“Akhirnya,” desah Ditto lega. Membuat Ayu mendelik ke
arahnya. “Kalo emang nggak begitu bahagia, ngapain
dipertahanin lagi lama-lama. Iya, nggak?” sahut Ditto saat melihat
Ayu yang mendelik ke arahnya dengan ganas.
“Ya iya, sih…,” gumam Ayu pelan.
“Lagian, ngapain sih pacaran?” tanya Ditto dengan nada
retorik. “Mendingan langsung nikah aja nanti.”
“Menurut lo gue mau nikah sekarang juga?” Ayu berdecak
sebal. “Lha, lo juga pacaran!”
Dengan spontan Ditto tertawa. “Tapi rekor gue nggak
kayak lo, Cha.”
Ayu sudah mengangkat tempat tisu plastic yang ada di
meja saat Ditto akhirnya berhenti tertawa.
“Lo kenal Arman, nggak? Nah, sekarang dia deketin gue,
To,” curhat Ayu, mencoba mengabaikan sisa kejengkelannya
karena kata-kata Ditto tadi.
“Buset, cepet amat lo dapet yang barunya,” gerutu Ditto.
Ia menatap sahabatnya yang masih menunggu mi rebus pesanan
mereka. “Udah lama?”
“Baru tiga hari sih sering SMS-an,” jawab Ayu sambil
nyengir lebar. “Lo pasti tahu Arman yang mana. Lo kan gaulnya
sama kakak kelas, pasti kenal sama Arman. Dia kan kelas tiga,
sekelas sama salah satu temen band lo deh kalo nggak salah.”
Ditto mengangguk perlahan. Ia tahu Arman mana yang
mendekati Ayu. Rasanya tidak ada siswa yang tidak ia kenal di
SMA 82 ini. sejak awal masa MOS, ia benar-benar mengetahui
siapa saja penghuni sekolah ini. Apalagi kalau kakak kelas, sudah
dipastikan ia kenal mereka semua.
Anjrit, baru putus udah dapet lagi nih si Ucha?
Berlawanan dengan apa yang terpikir di benaknya, Ditto
malah berkata, “Hati-hati lo, cowok kalo dari awal baik banget
bisa aja dia jadi jahat banget ke belakangnya.”
“Dan di sini ada cowok yang lagi nasehatin gue tentang
cowok,” sindir Ayu, namun Ditto hanya tersenyum dengan santai.
“Itu kan enaknya punya sahabat cowok, Cha. Lo bsia tahu
pikiran cowok lo dari gue.”
Ayu tak menanggapi lagi, ia hanya membuat bola matanya
dengan malas.
Kemudian keduanya menikmati suasana di sekitar mereka
sambil menunggu mi rebus masing-masing. Wartam hampir tak
pernah sepi dari murid SMA 82, kecuali saat larut dan saat jam
pelajaran berlangsung. Sesekali ada yang bolos dari sini, namun
ada saja yang tertangkap guru mereka.
Wartam merupakan warung kecil selayaknya warung
biasanya, menyediakan makanan ringan, mi instan, kopi, dan
sebagainya. Terletak di depan SMA 82, tepatnya di Taman
Mataram. Sejak awal sekolah, selain kantin dan lapangan, Ayu
dan Ditto sering sekali ke sini. Penjaga warung tersebut sudah
hafal dengan mereka.
“Cha, gue pengin punya mobil sendiri.”
“Ya belilah.”
“Tapi bokap-nyokap nggak mau beliin.” Ucapan Ditto kali
ini membuat Ayu kembali menoleh ke arahnya satu tangannya
menopang dagu. “Gue disuruh beli sendiri.”
“Belilah.”
Ditto memukul meja dengan kepalan tangannya. Tidak
terlalu keras hingga tidak menimbulkan perhatian “Gue masih
SMA, Cha, belum kerja. Duit dari mana?”
“Kerja, To. Jangan ngepet.”
Ditto menoyour Ayu dengan sebal. “gue lagi serius juga.”
“Gue juga serius,” kilah Ayu.
“Lo kan enak, udah kerja,” kata Ditto dengan wajah
muram. “Beli mobil sendiri pasti nggak susah buat lo.”
ayu menghela napas dalam-dalam. “To, lo tahu kan kenapa
gampang buat gue kalo gue mau beli mobil?”
Ditto mengangguk.
“Kenapa?”
“Karena lo udah kerja.”
“Kalo gitu lo kerja juga, kumpulin duit dari sekarang,”
ujar Ayu. Ketika Ditto sudah mau berkilah lagi, Ayu kembali
berkata, “Kerja dari sesuatu yang emang bener-bener lo suka, To.
Gue suka acting, gue kerja di sana. Lo suka main perkusi, lo bisa
kerja ngandelin perkusi lo itu.”
“Hm.”
“Lo kan anak band, mulai ngeband secara professional,
dong. Dapet bayaran, tabungan duitnya buat beli mobil,” tambah
Ayu. “Lo pasti bisa, lo kan berbakat.”
Setelah berpikir beberapa saat, Ditto akhirnya
mengangguk dengan senyum puas terkembang di wajahnya. “Gue
bakal nabung buat beli vespa.”
“Hah? Kok jadi vespa?”
“Setelah gue pikir-pikir, bakal lama nabung buat beli
mobil,” jawab Ditto. “Mendingan gue beli vespa. Keren, nggak
terlalu mahal, dan tetep bikin gue nggak harus naik angkutan
umum lagi atau nebeng elo kayak zaman SMP dulu.”
Ayu tertawa saat kembali diingatkan tentang hal tersebut.
Dulu, karena rumah Ayu jauh dari SMP, AYu dijemput dengan
mobil pribadi. Ditto pun yang rumahnya searah jadi penumpang
tambahan tetap di mobil itu. Diantar-jemput hampir setiap hari
oleh Ayu.
Bukan hal yang bisa dibanggakan, sebenarnya. Mana ada
cewek yang antar-jemput cowok?
“Nanti pokoknya harus gue yang jadi penumpang
pertama,” titah Ayu. “Nggak boleh ada orang lain—apalagi
cewek, yang duduk di boncengan lo buat pertama kalinya. Catet
tuh, ya!”
“Iya, Cha, iyaaa.”
***
Jangan lupa like sama comment ya

KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN TAPI MENIKAH
RomansaProlog "Gue kira lo nggak balik ke sini," ujar Ayu begitu melihat sosok Ditto. Perhatian Ayu kembali kepada Ditto. Saat kedua mata sahabatnya menatap tetap di manik matanya, Ditto tertegun sesaat. Kemudian, keberanian yang tak pernah terkumpul sela...