Chapter 8: Penantian

3 1 1
                                    

31 Desember...

Akhir tahun, semangat Satou tak kunjung menurun. Ada konser musik yang diadakan di akhir tahun, bertempat di Ranbito Plaza. Mal yang tak begitu besar yang terletak di selatan kota. Ia berjanjian dengan Kanade dan akan bertemu di sana.

Awal pagi hari di sebuah rumah yang tak kecil juga tak besar, daerah Gudelic, selatan kota...

Alarm yang dipasang di handphone Satou berbunyi, waktu menunjukkan jam 7 pagi. Nada dering alarm yang ia pasang adalah sebuah lagu yang dibawakan oleh Hiroshi Kitadani yang berjudul We Are!. Satou terbangun karena alarmnya dan ia mematikannya, ia setengah sadar dan kembali tertidur.

Sementara itu, di Cluster Gepo, daerah Rangiwi, timur kota...

Kanade sudah bangun dan ia membantu Ibunya memasak. Ia menyiapkan sarapan untuk Ibunya, ia sendiri, dan juga 2 adik perempuannya dan 1 kakak laki-lakinya. Setelah rampung memasak, Kanade bersama keluarganya berkumpul di ruang makan, dan menyantap sarapan bersama-sama.

"Tahun baru kali ini, kamu ada acara sama teman, Nak?" tanya Kanarin pada Kanade.

"Ada, Bu. Boleh keluar, kan?"

"Nggak boleh!" larang sang kakak—Kanako.

"Kan gue nanya ibu, bukan lo bang," sahut Kanade tak terima.

"Ya ibu ini. Kanade kan cewek, dengan gampangnya keluar main begitu aja. Nggak ada, nggak ada!"

"Lo jangan seenaknya!"

Kanarin hanya menggelengkan kepala sementara kedua anaknya itu berdebat.

"Iya udah, sana. Batu banget dibilanginnya." Kanako akhirnya mengalah.

"Suka suka Kanade."

"Yang penting kamu nggak macam-macam, Nak," ujar Kanarin.

"Ya iyalah, Bu, pasti," sahut Kanade, "emangnya abang," lanjutnya sambil menatap sinis ke Kanako.

Kanako hanya menatapnya balik dan menunjukkan wajah kesalnya. Kanako memang sering melarang Kanade untuk pergi. Sang ibu masih bisa diajak ngobrol. Berbeda halnya dengan Kanako. Kanade mengenakan kaos polos warna merah, rok warna coklat tua dengan pinggir kuning, dan ia mengenakan cardigan coklat tua. Kaosnya bergambar kupu-kupu warna putih.

"Ibu.. Kanade berangkat dulu, ya!" Kanade pamit, Kanarin sedang sibuk di belakang rumah menjemur pakaian.

"Iya. Hati-hati, Nak."

"Siiiip!"

Kanade segera berangkat. Di depan Cluster Gepo, jalannya tidak begitu lebar. Ia menaiki angkot yang ke arah Tiran Pangin untuk menaiki bis kota yang menuju Injra, daerah tempat Ranbito Plaza berada.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Satou dengan mengendarai CBR-nya melesat, membelah lautan kendaraan jalan raya Poren—jalan raya penghubung daerah Gudelic ke Injra. Satou mengenakan jaket biru muda bertudung, rambut coklatnya yang agak berantakan, dan memakai celana panjang bahan berwarna hijau lumut. Butuh waktu 25 menit dari rumahnya untuk sampai ke Ranbito Plaza. Tak lama ia pun sampai, tepatnya jam setengah 3 siang. Ia segera memarkirkan motornya dan menuju ke main lobby Ranbito Plaza. Satou mengambil handphone dari sakunya dan ia menelepon Kanade. Berkali-kali ia menelepon, namun tak ada respon sama sekali dari Kanade.

Kemana cecunguk satu itu? batin Satou dalam hati, yang sebenarnya mulai khawatir.

Di bis kota, Kanade tertidur. Bis kota Tiran Pangin yang mengarah ke Injra melewati jalan tol. Handphone-nya terus berdering, namun tidurnya tetap nyenyak. Kemarin malam, semalaman ia teleponan dengan Satou hingga jam setengah 5. Satou tidur terlebih dulu karena takut-takut ibunya bangun dan memarahinya karena mendapati ia begadang. Sedangkan Kanade tidur jam setengah 6 dan ia kembali bangun jam 8 pagi. Di Ranbito Plaza, Satou duduk di kursi yang tersedia di lobby dan terus menunggu Kanade. Pikirannya terasa berkeliling kemana-mana. Ia berpikir positif, namun juga berpikir negatif. Entah apa ada yang terjadi pada Kanade, atau Kanade sengaja menghilang. Pikiran negatifnya menutupi pikiran positifnya. Namun, rasa khawatir yang menang dibanding pemikiran yang tidak-tidak lainnya.

BesokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang