EMPAT BELAS

2.6K 238 2
                                    

Telpon berdering. Bryanne terlonjak saat dalam pelukan lelaki itu, William menoleh menatap telepon di meja di belakangnya.

"Aku perlu mengangkatnya." Kata Bryanne pada William.

William mundur, memberinya ruang gerak. Bryanne bergegas mengangkat teleponya.

"Dengan Bryanne Reedman." Bryanne diam mendengarkan. "Oh, Tuhan. Aku akan segera kesana."

"Ada apa?" Tanya William. "Bukan masalah Evan kan?"

"Iya..bukan..bukan..maksudku ini tentang Damian dan Evan, Will. Damian tertabrak motor saat berusaha menyebrang jalan bersama Evan di taman kota. Dan sekarang dia dan Evan berada di Rumah sakit."

"Bagaimana keadaan mereka?"

"Entahlah Will, baru saja suster mengabari Damian masih di ruang perawatan dan Evan baik-baik saja."

"Syukurlah jika Evan baik-baik saja."

"Ya. Aku harus pergi, Will." Kata Bryanne pada William.
"Kita benar- benar perlu bicara banyak. Datanglah kerumah nanti malam dan..."

"Aku akan pergi kerumah Sakit denganmu." Kata William.

"Tapi kau perlu... oh, baiklah. Ayo berangkat!"

Dalam waktu Sepuluh menit, mereka tiba di rumah sakit itu. Suster menunjukkan dimana tempat Damian di rawat saat ini.

"Evan, kau baik-baik saja Sayang." Bryanne langsung mendekap tubuh mungil putranya, saat dilihatnya bocah itu duduk termenung di depan ruang perawatan.

"Mommy, aku baik-baik saja. Tapi Uncle D... dia tidak baik-baik saja, Mom. Uncle tertabrak motor saat mencoba menyelamatkanku, dia terlempar ke jalan saat itu. Mommy, orang-orang sudah memberinya napas buatan dan dia sudah bisa bernapas sendiri, tapi lukanya kelihatan buruk. Aku khawatir Mom, aku merasa sangat bersalah padanya. Akulah penyebab Uncle D seperti ini Mom."

"Uncle akan baik-baik saja, Evan." Kata Bryanne. "Dan kau tidak perlu merasa bersalah. Bukan dirimu penyebabnya sayang."

"Mommymu benar Evan. Uncle D adalah Pria. Dan seorang Pria tau apa yang harus dilakukanya. Kau tak perlu menyalahkan dirimu sendiri." Kata William sembari berlutut di depan bocah yang terlihat kalut itu.

Evan mengangguk setuju saat melihat  william tersenyum ke arahnya, William lalu berdiri dan melihat saat Bryanne mencium puncak kepala bocah itu dengan penuh cinta. Dia memandang ke arah lorong rumah sakit, di mana beberapa orang perawat sedang mendorong Brankar berisi Gadis muda berambut hitam dengan wajah dan tubuhnya berlumuran darah. Tubuh William gemetar, kenangan melintas dalam benaknya kecelakaan lain. Pemandangan darah. Bau kematian.

Jangan! Jangan berfikir tentang itu! Jangan ingat. Ketika pertama kali sadar di Rumah sakit hampir Tiga belas tahun lalu. Dia tidak bisa mengingat semuanya. Tapi hari demi hari ingatanya kembali. Jelas. Traumatis. Menakutkan. Dan kemudian dia berharap seandainya saja amnesia sementara itu berlanjut selamanya.

Raungan ambulans menyadarkan William dari fikiranya yang menyakitkan. Dia melihat Bryanne menggendong Evan dalam dekapanya.

"Ayolah, kita pulang dahulu Will. Sepertinya Evan cukup terguncang dengan kejadian ini. Dan kurasa, dia butuh istirahat sekarang." Ucap Bryanne.

"Ya, kau benar." Jawab William dengan suara sedikit bergetar.

William menghirup bau alkohol dan darah, mengingat bencana itu dengan semua inderanya. Saat wanita itu meronta dalam kesakitanya. Dan William gemetar dari ujung kepala sampai kaki.

Semua terjadi begitu cepat. Baru saja mereka tertawa bercakap-cakap, semenit kemudian perahu mereka menabrak perahu lain. Sebelumnya dia sudah memcoba membujuk Danny supaya membiarkanya memegang kemudi, karena teman dan rekanya itu sudah terlalu banyak minum. Tapi Danny bersikeras menolak. Perahu itu miliknya, katanya. Dan dia tidak mabuk!

Danny tewas di tempat. Kimberly bertahan hidup selama beberapa jam. Penumpang perahu yang mereka tabrak, pasangan berusia sekitar lima puluhan, tewas. Pacar Danny, Charlotte, selamat tapi pincang. Dan William selamat. Hidup tanpa kecacatan apapun.

Bryanne berjalan menyusuri koridor bersama Evan yang berada dalam pelukan hangatnya. Bryanne mengusap rambut anaknya dengan sayang dan berjalan meninggalkan lorong rumah sakit menuju parkiran. Ketika itulah dia menyadari William tidak ada disampingnya. Bryanne melihat William berdiri di tengah lorong. Narlurinya mengatakan ada yang tidak beres.

Dia kembali berjalan ke arah William. "William?Will!"

Pria itu tak bereaksi.

Ketika mendekati William, Bryanne menyadari pria itu basah oleh keringat dan gemetar seolah terserang demam. Oh Tuhan! Kenapa dia?.

Bryanne meraih bahu William dan mengguncangnya dengan posisi Evan terlelap dalam gendonganya. Pria itu memandangnya dengan mata kosong. Bryanne mengguncangnya lagi. Lebih keras.

"William! Sadar!"

"Semua tewas. Semua, kecuali Charlotte dan aku."

"Apa yang kau bicarakan..." Bryanne lalu sadar. "Kau ingat kecelakaan perahu itu, kan? Darah dan..." Bryanne memeluknya. "Will, itu sudah hampir Tiga belas tahun lalu. Sekarang kau baik-baik saja."

"Aku takkan baik." Kata pria itu dengan suara gemetar. "Kenapa Charlotte dan aku tidak mati saja? Aku tidak mengerti mengapa kami selamat."

Bryanne menyelipkan tangan di pinggang William dan mendorongnya maju, mengajaknya berjalan. Dia menuntunya keluar rumah sakit menuju mobil mereka. William ragu-ragu, lalu ketika Bryanne menidurkan Evan di kursi penumpang, dia masuk duduk di kursi depan dan menunggu seperti anak kecil yang tidak berdaya.

Ketika melihat William masih linglung, Bryanne meraih dan mengencangkan sabuk pengamanya. Di keluarkanya selembar tisu dari tas tanganya dan dengan lembut di sekanya keringat di wajah pria itu.

Dalam perjalanan ke Rumah, Bryanne  berulang kali memandangnya. Tidak ada yang bicara. Bryanne tak tahu apa yang harus di katakanya, bagaimana menghibur pria itu. Kadang-kadang orang harus menghadapi mimpi buruknya sendiri.

Ketika mereka tiba di Rumah, Bryanne membukakan pintu penumpang. "Masuk dan tunggulah aku di dalam. Aku akan menidurkan Evan terlebih dulu."

William mengangguk dan menuruti perintahnya. Bryanne pelan-pelan meraih Evan yang terlelap ke dalam gendonganya, sambil memikirkan keadaan William. Dia harus mencari jalan untuk membantunya, tapi dia takut apa yang dikatakanya hanya akan memperburuk keadaan. Rupanya kecelakaan dan rumah sakit yang tadi dilihat William mengingatkanya kembali kepada kenangan buruk itu, memaksanya mengulangi peristiwa kecelakaan perahu itu, hari yang menghancurkan masa remajanya. Dia kehilangan kekasih dan sahabat pada hari yang sama itu. Dan tidak ada yang bisa mengembalikan keduanya.

_________________________________________

Aku mah klo motong naskah g jago 😄

Maaf klo part ini dikit bnget
Typonya tolong ya teman😁
Enjoy reading and hope you like it 😘😘

unforgettable kiss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang