Bagian Satu

114 7 0
                                    

Sejak dua jam lalu aku tidak bergerak sedikit pun dari tempat dudukku. Bandara ini sudah terlihat berbeda sejak 7 tahun lalu aku pergi meninggalkan kota ini. Tak ada lagi yang sama. Mungkin hanya kenangan indah di kota ini yang tetap akan sama dan tidak akan berubah.

"Kamu udah sampai dimana, dek?" Suara mama sejak tadi terdengar begitu khawatir dari seberang telfon. Tapi tetap saja kakiku masih terasa sangat berat untuk melangkah.

"Iya ma. Velly bakal pulang kok."

Setelah berdebat panjang dengan mama di telfon, akupun memutuskan untuk segera pulang kerumah. Rasanya sulit sekali menerima kehidupan  kembali di kota ini. Saat dimana semesta memaksamu untuk kembali ke kota yang sejak dahulu kau hindari.

Aku menyeret koperku. Berjalan sambil menenteng tas kecil dan jaket yang tadi ku kenakan.

Saat aku keluar dari bendara ini, pemandangan yang berbeda menyambutku. Terakhir kali aku berada disini saat 7 tahun lalu. Saat dimana keputusan terberat harus aku pilih. Keputusan yang mengubah kehidupanku bahkan bisa di bilang mengubah pemikiranku.

Aku memberhentikkan sebuah taxi dan segera menaikan barang bawaanku ke dalam bagasi. Setelah aku menyebutkan alamat yang aku tuju, taxi melaju menyusuri jalanan kota sore itu.

***

Sekarang baru pukul 4 sore. Suasana macet menyambutku di jalanan kota ini. Sudah setengah jam berlalu sejak aku berangkat  dari bandara.

Aku menatap kearah awan. Masih biru. Dia tak menandakan tanda-tanda ingin turuh hujan.

Aku tersenyum samar. Pemandangan awan disini masih sama seperti dulu. Awannya masih sama seperti 'gulali'.

Kualihkan perhatianku pada segerombolan anak SMA yang sedang berjalan sambil tertawa di sekitar trotoar jalan. Rasanya terlalu cepat menua bagiku. Terlalu cepat aku meninggalkan kenangan. Dan terlalu lama rasanya aku tidak bertemu dia, biru. Awan-ku.

Mobil yang ku naiki mulai berjalan lagi. Kali ini cukup lancar tanpa hambatan.

"Kalau di daerah sini sering macet, mbak. Sering ada kecelakaan." Kata supir taxi ku memecah keheningan.

"Emang barusan ada kecelakaan ya, pak?"

"Iya neng. Itu tadi siang ada anak SMA yang bawa motor tabrakan disini. Sepertinya sama anak SMA juga, tapi yang satu lagi bawa mobil. Katanya yang bawa motor tangan kananya patah mbak."

Aku terdiam mendengar penjelasan supirku. Rasanya kejadian ini hampir sama dengan kejadian yang ku dengar 7 tahun sebelumnya.

"Mbak baru pulang dari mana emangnya? Belum pernah kesini sebelumnya ya?"

"Saya baru pulang dari Jepang pak. Baru selesai kuliah dan kembali ke sini. Kampung halaman saya."

Selanjutnya yang kulihat hanyalah anggukan tanda mengerti dari bapak ini.

"Pak, kita berhenti di rumah bertingkat yang itu ya. Yang warna ungu." Aku menunjuk rumahku kepada supir tanda bahwa kami hampir sampai.

Supir ini memberhentikan taxinya tepat di depan gerbang rumahku. Setelah aku membayar ongkosku, bapak ini membantuku mengeluarkan barang-barangku.

"Terimakasih, mbak." Kata bapak itu sambil tersenyum.

Aku membalas senyuman bapak itu dan segera membuka gerbang rumahku. Ku seret koperku dan mulai masuk kedalam rumah.

"Kamu udah sampai, dek?" Suara sambutan mama terdengar saat aku membuka pintu. Mama memelukku dengan erat. Lalu mencium pipiku.

Aku melepaskan pelukan mama dan melihat kedalam rumah, "Papa mana ma?" Tanyaku pada mama saat melihat kedalam rumah yang terlihat sepi.

"Lagi kerja. Yaudah kamu masuk dulu. Mandi biar capeknya hilang. Setelah itu istirahat ya. Mama mau ke depan dulu beli sesuatu. Kamu mau nitip sesuatu?"

Aku menggeleng menjawab pertanyaan mama. Setelah melihat jawabanku, mama pun segera pergi dan akupun menutup pintu.

Tidak ada hal spesifik yang berubah dari rumahku. Masih sama seperti 7 tahun lalu. Hanya warna cat dan letak beberapa barang yang berubah.

Dari mama juga tidak ada yang berubah. Sama seperti setahun lalu saat mama dan papa menemuiku di Jepang.

Yang berbeda hanyalah sifat mama. Dulu, saat aku kecil sampai remaja mama selalu saja marah-marah mau itu karena aku telat bangun pagi, pekerjaan rumah tidak selesai, mauoun beberapa hal lain. Namun, semenjak aku memutuskan mengambil beasiswa ke Jepang, mama seolah berubah. Mama lebih sering memanjakanku karena tahu ku akan meninggalkannya. Tidak tahu jika sekarang. Karena aku memutuskan menetap kembali disini.

Aku menyeret koperku menuju tangga. Masih tergambar jelas kejadian di masa lalu saat aku dan teman-temanku berlarian di tangga ini. Aku bukan ingin kembali mengenang masa lalu, hanya saja kenangan itu terasa sulit dilupakan. Aku menaiki tangga secara perlaham sambil mengangkat koperku.

Aku segera masuk kedalam kamarku yang ada di dekat tangga dan segera menutup pintuku. Aku merebahkan tubuhku ke kasur dan menatap langit-langit kamarku yang masih sama. Suasana kamar ini juga masih sama bau pengharum ruangan yang sejak dulu ku pakai juga sama. Aku sering menyuruh mama untuk menggantinya jika habis, walaupun tidak ada yang menempati kamar jno saat aku pergi, tapi setidaknya aku tidak ingin kamar ku terasa bau dan sumpek.

Aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling kamarku, sebuah kotak berukuran lumayan besar yang berada diatas meja belajarku, menarik perhatianku.

Aku berjalan mendekati kotak itu dan membawanya ke atas tempat tidur. Aku duduk bersila di atas tempat tidur dan meletakkan kotak tersebut tepat di hadapanku.

Aku membuka kotak tersebut dan menemukan sebuah album berada diatasnya. Aku membuka album tersebut dan mulai melihat-lihat foto yang ku ambil dulu menggunakan kamera polaroidku.

Beberapa kali aku tersenyum menatap foto-foto yang ada. Sampai akhirnya sebuah foto pria menggunakan jaket biru tua menghentikan pemandanganku.

Dia biru!

Pria yang dulu mengisi masa-masa SMA ku yang sempat terasa kelabu. Aku tersenyum samar mengingat semua tentang pria ini.

Setiap kenangan yang ia buat seakan sulit ku lupakan. Semuanya masih ku ingat jelas. Bahkan bagian sekecil apapun tentangnya masih kuingat dengan sangat jelas.

Dia biruku pada masa lalu.

Dan dia, Ezra Alvin.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang