"Gaby mana, Vel?"
Pertanyaan mellysa membuka cerita baruku pagi ini. Semalam, aku membiarkan Ezra tanpa menyuruhnya pergi ataupun tetap tinggal.
"Gue udah bilang gue berangkat sama bokap."
Mellysa mengangguk. Beberapa menit kemudian ku lihat Gaby memasuki ruang kelas dengan ngosh ngosh-an.
"Lo baru lari pagi? Kok keringatan?" Tanyaku pada gaby yang langsung saja duduk di sebelahku.
Kulihat dia mengipasi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu menarik nafas dalam.
"Gue kira udah telat njir." Jawabnya masih di sertai suara nafas yang memburu.
"Eh kalian tau gak? Gue tadii pas lewat dari paung ngeliat rafa sama Ezra masuk ke dalam."
Aku menatap Gaby. "Terus? Kenapa? Paling juga cabut." Kataku sambil mengalihkan pandanganku kearah mellysa yang duduk di hadapanku.
"Ya pastilah! Lagian udah jam segini! Jelas aja cabut!" Mellysa bersorak dengan semangatnya.
"BAPAAAAKKKK!!!!!!!" Suara Tover dari depan kelas sambil berlari masuk membuat posisi duduk kami rapi seketika.
Pelajaran Bahasa Indonesia pun segera di mulai dan kelas mulai hening.
***
Braaakkk
Suara pintu kelas terdengar kuat dari arah depan. Mengalihkan pandangan kami semua untuk melihat kedepan kelas saat kami semua sedang mengerjakan tugas teks eksposisi bahasa Indonesia.
Sosok tinggi muncul sambil berlari membawa tas. Ia langsung duduk di tempat duduknya tepat di bagian pojok paling depan.
"Gila! Lo dari mana? Inikan udah mau habis les kedua? Gue udah buat lo absen!" Terdengar teriakan Via dari bangku kedua dekat pintu masuk.
"Biasa. Ngabsen di Paung dulu. Biar sekolahnya afdol."
Beberapa orang mulai tersenyum. Namun beberapa orang lagi mulai menggeleng. Via berjalan dengan langkah berat ke arah meja guru. Pasti dia ingin mengubah absensi kelas.
"Ezra kemana?" Via bertanya dan melihat kearah rafa yang sedang duduk sambil mengangkat kakinya ke kursi kosong di sebelahnya.
"Ga bakal dateng." Katanya santai.
Setelah Rafa mengatakan itu, via segera kembali ke kelasnya dan mulai menulis.
"Vel? Pssssst!!"
"Velll....."
"Psssttt.."
"VELLY!!!"
Suara terikan Rafa kembali menghentikan aktifitas kelas dan membuat semua anggota kelas melihat kearah ya. Aku sengaja tak menghiraukan panggilannya sejak tadi, karena aku yakin dia akan membahas hal tidak penting.
"Apa?" Tanyaku dengan suara pelan.
"Cantik."
See? Apa yang ku bilang? Tidak penting sama sekali.
Aku mengalihkan lagi pandanganku dan berusaha fokus pada tugasku.
"Vell!!!" Rafa kembali berbisik.
"Apaan sih?" Tanyaku mulai tak sabaran.
"Sssssssttt." Desis gaby di sebelahku.
"Pinjam pulpen dong. My Gel ya."
"Males." Jawabku tanpa melihat kearahnya.
Tiba-tiba tanp jangka waktu panjang, aku merasa seseorang mengambil kotak pensilku diatas meja.
Sontak aku berdiri berusaha meraih kotak pensilku.
"Rafaa! Siniin!!!"
Badan rafa yang lebih tinggi dariku membuatku merasa kesulitan. Apalagi berkali-kali ia menaikkannya kerarah atas.
"Cieee." Teriakan sekelas mampu membuatku berhenti meminta kotak pensilku. Segera aku kembali duduk ke kursiku.
Kubiarkan rafa mengambil alat tulisku. Selang beberapa menit, kulihat dia meletakkan kembali tempat pensilku.
"Makasih" katanya lalu pergi berlalu begitu saja meninggalkanku dengan segala perasaan kesal.
***
"Lo yakin mau pulang sendirian?"Aku menanggukkan kepalaku menjawab pertanyaan Gaby yang sejak tadi seakan tidak percaya.
"Tumben? Lo kan paling ga berani sendirian? Galau lu ye?"
"Ihh gak kok. Dah ya gue mau pulang duluu. Lagian gue ada urusan bentar. Mau beli notes di toko sebelah."
"Tuhkan! Pasti lagi galau! Kenapa? Felix lagi? Lagian lo gabiasanya berani kesana sendirian. Lo masih ingetkan di seberang itu paung? Ga lupa kan, Vel?"
Ya. Gaby selalu tahu segalanya bahwa aku takut jika harus melewati daerah itu. Tapi apa boleh buat. Rasa galauku mengalahkan segalanya.
"Gue berani kok. Bye!"
Aku pergi meninggalkan Gaby yang masih berteriak memanggilku dari belakang.
Aku terus melajukan kakiku sampai ke toko alat tulis yang berada tidak jauh dari sekolahku.
Setelah membeli notes yang ku dambakan, aku segera membayarnya dan berjalan keluar dari toko.
Ada satu pemandangan yang ku tangkap dengan jelas saat pertama kali menginjakkan kaki diluar toko. Pemandangan menjijikkan yang tak pernah ku harapkan selama hidupku.
Pemandangan itu membuatku terpaku dan terdiam. Sepersekian detik aku menatap orang tersebut dengan tercengang, sampai akhirnya orang tersebut menatapku kembali, lalu ikut terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
Romance7 tahun lalu, "Kita putus aja." Ku katakan sebuah hal gila di hadapannya setelah sekian lama ku tahan segalanya. "Terserah." "Hanya itu?" Dahiku mengernyit menatapnya yang sedang berada di hadapanku. Dia diam. Tatapannya tetap mengarah kearah lain...