Bagian Sembilan

22 1 0
                                    

"Di seragam lo ada kapur. Kotor." Kulihat Rafa yang berdiri di belakangku sambil menatap pundakku.

"Eh. Yaudah buruan." Aku menarik pergelangan tangannya. Berharap menyudahi permasalahan ini.

Aku berdiri bersama Rafa dibawah pohon jambu air di depan kelas. Suasana hari itu ramai sekali. Ya kalian tahu hari ini tidak ada mata pelajaran apapun. Jadi sebagian orang akan pergi ke kantin untuk membuang bosan.

"Raf, tentang pernyataan lo beberapa waktu lalu. Gue......"

"Vel, udah deh. Gue tau kok lo gak suka gue. Ya kata orang dari pada menyimpan perasaan sesak, lebih baik mengungkapkan."

"Jadi?"

"Jadi apanya?"

"Lo gak bakalan musuhin gue kan?"

"Ya enggak lah Vel! Kita masih temenan. Asal jangan Tts." Kurasakan dia menepuk bahuku lumayan keras.

"Ihh apaan sih! Sakit!" Aku tertawa melihatnya. Kulihat setelah itu Rafa kembali tertawa. Tidak apa jika aku tidak membalas perasaannya, dengan begini saja mungkin sudah membalas perasaannya.

Dari Rafa aku tahu bahwa, mengungkapkan setidaknya lebih baik dari pada menahan perasaan. Terserah apa yang di rasakan orang lain, tapi dengan mengungkapkan kau akan tahu apa langkah selanjutnya yang kau ambil.

"Udah giliran kita milih. Yuk kesana." Kurasakan rafa menarik pergelangan tanganku kearah lapangan.

Kami berpisah saat sampai di lapangan. Kalian pasti tau mengapa. Yup! Pada dasarnua semua cowo akan berkumpul bersama teman-temannya entah dengan alasan apa. Aku berdiri di tengah lapangan dan menunggu gaby dan mellysa yang sedang berjalan mendekatiku.

Setelah selesai memilih, aku dan teman-temanku segera kembali kedalam kelas.

"Velly!! Velll!!!" Kudengar sebuah teriakan dari belakangku saat aku sedang berjalan menuju kelas.

Aku dan kedua sahabatku sontak berbalik. Entahlah kenapa. Rasanya seperti kebiasaan jika seseorang memanggil salah satu diantara kalian, namun malah semuanya yang menoleh.

Aku mendapati Ezra yang sedang berlari kearah kami.

"Gue mau bicara."

"Yaudah ngomong."

Kulihat matanya melirik kearah kedua sahabatku.

"Yaudah Vel, kitaa...." aku melihat gaby yang menarik tangan Mellysa. Dan dengan cepat aku kembali menarik tangan mereka berdua.

"ENGGAK ! Kalau lo emang mau ngomong ya ngomong sekarang gue gak mau berdua." Kataku seakan mengerti akan tatapannya.

"Ihh kok nge-gas sih? Iya gue cuma mau nanya, kok lo jauhin gue sih?"

Aku menatapnya binggung.

"Apa harus gue jelasin?"

"Maksud lo?"

"Gue rasa lo tau jawabannya."

Aku menarik tangan kedua sahabatku untuk menjauh. Rasanya aku tidak ingin menjelaskan hal yang jelas-jelas sudah jelas.

***

"Lo yakin gak pulang bareng gue? Gue bisa anterin lo kok ke cafe kalau mau."

Aku menggelengkan kepala menolak.
"Gak perlu Gab. Aku udah pesan ojek kok. Ini udah mau sampai."

"Yaudah gue deluan, bye."

Aku menatap motor gaby yang semakin menjauh. Sudah lama sejak Felix pergi dari kota ini, dan aku belum pernah ke cafe itu lagi. Rasanya aku rindu suasana disana.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang