Bagian Lima

34 2 0
                                    

Aku menyenderkan punggungku pada kursi cafe ini sejak satu jam lalu. Rasanya cafe ini selalu punya tempat terbaik untukku selain rumah. Biasanya aku akan membawa sendiri mobil agar aku bisa datang kesini. Tapi hari ini, aku memutuskan menaiki taxi online.

Aku selalu kesini ketika rasa penat mulai menusikku. Cafe ini tidak berada di pusat kota. Dia bebas dari hiruk pikuk macet kota. Aku senang jika harus kesini sendirian dan aku senang dapat melihat seseorang disini. Tidak tahu kenapa, sifatnya yang sama denganku membuatku sejak beberapa tahun lalu mulai menyukainya. Terlebih dia yang selalu tahu dan paham setiap kondisiku.

Aku menatap kosong kearah luar cafe. Tempat di sebelah jendela adalah tempat favoriteku. Tempat dimana aku bisa melihat dunia nyata. Bukan khayalan seperti ketika aku di dalam kamar.

"Loh? Sendirian mulu." Suara seorang barista mengagetkanku dan mengalihkan perhatianku.

"Iya nih. Kan emang selalu sendirian. Lo ga buat kopi lagi?" Kulihat dia mulai menduduki kursi kosong di hadapanku.

"Ini lagi operan sama Danu."

Aku mengangguk mengerti. Felix adalah seorang barista termuda di cafe ini. Dia bersekolah di salah satu sekolah negeri di kota. Tapi tetap saja, katanya membuat kopi adalah seni. Dan sekolah adalah rutinitas. Terkadang, aku sering mendapati dia tidak sekolah karwna untuk membuat kopi saja.

"Ajak gitu sekali-sekali cowo kesini. Apa jangan-jangan masih belum punya gebetan?"

"Paan sih! Gue lebih seneng sendiri disini. Lagian akan ada masa gue bawa orang ke sini dan dia bakal jadi orang ter-special di hidup gue. Dan gue pengen nih tempat ga jadi tempat paling menyakitkan buat gue."

"Gituu mulu kata-katanya."

Aku tersenyum menjawab pernyataan Felix. Aku kembali menatap jendela. Aku melihat seorang ibu sedang membelikan anaknya sebuah gulali. Setelah itu, anak itu tertawa.

Melihat hal tersebut aku tersenyum miris.

"Lo sedih mulu asal ngeliat itu. Tapii tetep aja mau duduk di situ. Orang tua lo bertengkar lagi?"

Aku mengangguk. Mataku menatap Felix kembali "Gue suka aja gitu ngebandingin hidup gue sama mereka. Apa semua orang sebahagia itu ya? Apa cuma gue yang gak pernah bahagia? Baru aja kemarin gue pikir mereka bisa baikan? Tadi pagi ngulah lagi. Piring pecah dimana-mana. Gue males pulang."

"Jangan langsung ngambil keputusan, Vel. Hidup semua orang gak mulu indah. Gue buktinya. Gue gak seberuntung semua orang. Lo jamgan sedih terus ah. Suatu saat mereka pasti baikan. Kan kemarin lo bilang kalian makan malam bareng kok malah berantem lagi?"

Aku mengangkat bahuku tanda tidak tahu.

"Tapi, ada satu hal yang mau gue bilang sama lo, Vel."

Aku menatap Felix dengan binggung.

"Gue... Gue mau pergi ke luar negeri Fel buat ngelanjut SMA gue. Ada bagian khusus di sana yang ngebuat orang tua gue mindahin gue kesana."

Aku terpaku diam tanpa suara.

"Kemana?" Tanyaku sambil menahan air mataku.

"Vancouver, Canada."

Aku mengalihkan pandanganku untuk kesekian kali. Entah mengapa rasanya seperti sebagian dari diriku hilang melayang mendengar pernyataan Felix.

"Gue bakal berangkat lusa. Dan ini adalah hari terakhir gue disini, Vel. Tapi gue janji bakal sering ngehubungin lo."

Aku tak menggubris pernyataan Felix. Aku tetap diam dan sampai akhirnya aku berdiri. Aku menatapnya sejenak.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang