Bagian Sebelas

27 1 0
                                    

"Liat nih mata ni anak. Habis di tonjok banteng kali ya." Suara Ezra dan teman-teman yang lain terdengar keras di telingaku.

Aku diam dan mencoba mengabaikan. Aku tahu Ezra sedang menjadikanku bahan candaannya dengan kawan-kawannya yang lain.

"Lo apaan sih zra? Ga punya otak?" Aku kembali berbalik ke belakang. Aku melihat Gaby sedang marah-marah sambil menunjuk muka Ezra.

"Udah Gab. Gak papa." Aku menarik tangan Gaby.

"Tuh dengerin temen lo."

Aku menarik Gaby menjauh.

"Kenapa sih Vel? Dia udah keterlaluan."

"Gak Gab. Gue gak pengen dengar ribut-ribut. Gue capek. Gue pengennya istirahat gue ini tenang. Lo paham kan?"

Aku melihat Gaby mengangguk, lalu tersenyum.

"Maafin gue Vel."

Aku tersenyum dan kembali berjalan menyusuri lapangan sekolah. Aku mengajak Gaby untuk pergi ke perpustakaan. Karena satu-satunya tempat tertenang adalah disana.

Sesampainya di perpustakaan, Gaby mengambil beberapa buku. Begitu juga aku. Kami duduk di salah satu tempat kosong.

"Kenapa sih lo suka banget baca tentang kota Jepang? Lo mau kesana?"

Aku terdiam. Berkali-kali Gaby sudah menanyakan hal yang sama. Tapi tetap saja aku tidak bisa menjelaskan.

"Diem mulu asal di tanya. Takut orang tua lo gak ngasih?"

Aku mengangguk.

"Gimana kalau lo ambil beasiswa ke sama diam-diam. Kalau udah dapet kan orang tua lo pasti cuma nge-iya-in doang. Gabisa nolak. Dan gue rasa gak ngebebanin mereka juga kan?"

Ada sebagian diriku yang setuju dengan pernyataan Gaby. Gaby benar juga. Aku harua mencobanya.

"Tapi... gue takut Gab."

Kurasakan gaby memukul bahuku pelan.

"Ayolah Vel. Lo butuh tempat dimana lo gak dengerin cacian dan makian bokap nyokap lo. Lo butuk kebebasan yang positif. Gue aja salut sama lo yang gak kayak orang lain yang keluarganya sama seperti elo. Ketika mereka semua nyoba barang haram, lo? Lo tetap berusaha untuk di lihat kedua orang tua lo Vel. Gue yakin lo bisa."

Mataku menatap buku yang ku pegang dengan sangat dalam. Entah kenapa air mataku kembali mengalir. Gaby memelukku.

"Lo kuat Vel. Gue yakin lo bisa."

Kringgg....
Kringggg...

"Udah bel masuk Gab. Masuk yuk."

Aku melepaskan pelukan gaby. Aku segera mengembalikan buku tadi pada tempatnya, begitu juga gaby.

Kami berjalan secepat mungkin hingga sampai di kelas. Guru yang mengajar mata pelajaran selanjutnya belum terlihat.

Aku dan gaby segera berlari ke bangku kami duduk. Aku melihat kearah pintu. Kulihat Vian masuk kedalam kelas sambil membawa piring berisi nasi.

"Eh Vian? Lo baru mau makan? Kam udah mau masuk?" Tanya Jess yang duduk di depan bangku Vian.

Vian terus berjalan kearah bangkunya dan hanya nyengir mendengar perkataan Jess.

"Vel? Lo ga laper?" Aku melihat gaby melihat secara tiba-tiba kearahku.

Aku menggeleng.

"Eh lu juga belum makan Vel? Sini aku suapin!" Ku dengar Vian berteriak lantang dari tempat duduknya.

Aku membalikkan badanku untuk melihat Vian. Ia berekspresi menyodorkan sesendok nasi kearahku.

"Gak. Gak mau." Lalu aku kembali membalikkan badan.

"WOOIII BAPAK DATANGG!!!" Rafa berlari masukk dengan terburu-buru.

"Mampus gua. Masih satu suap." Teriak Vian yang di sertai gelak tawa sekelas. Aku melihat vian lagi. Dia menggigit ujung paha ayam goreng, lalu memasukkannya kedalam laci.

"Mayan, buat siang." Katanya lagi sambil mengunyah.

Selang berapa menit, guru kami masuk. Pelajaan di mulai seperti biasanya. Sampai tiba-tiba seseorang masuk dengan tergesa-gesa dan nafas tak beraturan.

"Pak." Dia berkata sebuah kata dengan penuh berani. Membuat kelas yang tadinya seperti pasar tiba-tiba hening.

"Mau apa kamu?" Suara pak Raska terdengar meninggi.

"Masuk, pak." Kata pria itu dengan santai.

Pak raska berjalan mendekati pria itu. "Sudah jam berapa ini?"

"Aduhh maaf pak. Tadi saya pagi pipis. Bareng rafa. Terus tiba-tiba gabisa keluar lagi."

Wajah pak raska terdengar binggung. Lalu tiba-tiba dia menoleh kearah Rafa.

"Rafa? Apa ada penjelasan?"

"Begini pak guru, tadi dia nyuruh tutup pintunya dari luar. Terus lama banget dia di dalam pak guru. Saya mendengar bel masuk. Ya saya tinggalin pak."

Seketika suara tawa mengisi kelas. Membayangkan kelakuan rafa yang mengunci Ezra di kamar mandi.

"Sudah. Kalau tidak saya kenal orang tua kamu, sudah saya hukum kamu Ezra. Sekarang duduk. Kita lanjutkan pelajaran."

***
Aku pulang lebih awal hari ini. Aku tidak singgah kemanapun setelah pulang sekolah. Membereskan rumah adalah perioritas utamaku. Pasti rumah akan berantakan setelah mama dan papa bertengkar.

Aku membuka kunci pintu lalu melihat sekeliling ruangan. Benar saja. Keadaan rumah amat kacau.

Segera aku meletakkan tasku ke atas kursi tamu. Lalu mulai mencari sapu. Aku memutuskan untuk tidak mengganti baju dahulu. Lagian besok kami akan menggunakan batik.

Aku mulai menyapu dari bagian atas rumah, lalu kebawah. Rumah ini tampak berdebu. Aku jarang sekali peduli pada keadaan tempat yang ku sebut sebagai rumah ini.

Setelah menyapu, aku langsung mengepel ruangan atas. Setelah selesai, aku pindah untuk membersihkan ruangan bawah.

Setelah selesai, aku merasakan perutku sangat kelaparan. Aku segera berjalan ke dapur dan melihat isi kulkas. Ada beberapa daging yang bisa ku masak. Akupun segera memasak apa yang tersedia di dalam kulkas.

Sudah lama sekali rasanya aku tidak memasak. Dan sudah lama juga rasanya tidak makan bersama mama dan papa. Kalau tidak salah terakhir kali saat kami makan bersama adalah saat aku menonton film thailand kemarin. Saat itu kupikir mereka sudah berubah. Tapi tetap saja sama.

Air mataku kembali jatuh. Mengingat keluargaku semakin membuatku makin lama makin gila.

Aku menghela nafas panjang dan menghapus air mataku. Segera aku selesaikan masakanku dan langsung makan.

Setelah selesai membersihkan piring-piring dan peralatan memasakku. Aku tiba-tiba teringat bahwa halaman rumahku juga mulai kotor.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, aku segera keluar dan memakai sandal. Lalu aku membuka garasi agar membersihkannya juga.

Aku membersihkan semuanya hingga kelihatan bersih. Aku duduk di salah satu kursi taman saat merasa lelah.

Dulu, aku ingat saat masih kecil papa selalu mengajakku bermain di taman ini. Sekarang? Semua telah berubah. Mereka lebih mementingkan pekerjaan dari pada apapun.

Saat ini, aku hanya membutuhkan seseorang yang mampu menetap tanpa perlu meninggalkan.

Saat itu ku kira aku telah menemukannya, Felix. Tapi tetap saja salah. Akhirnya felix tetap pergi dan tidak ada kabar.

Aku mengusap air mataku. Ku lihat langit yang terlihat biru. Sejak dulu, aku menyukai birunya langit yang bisa membuatku tenang.

"Kenapasih dunia enggak adil? Andai gue gak dilahirin di keluarga ini pasti gue bahagia. Keluarga gue hancur. Hidup gue hancur. Lalu sekarang apa lagi yang kurang? Apa semuanya harus diambil? Gue capek." Aku memaki awan seolah-olah ingin sebuah jawaban. Tapi tetap saja awan terus bergerak. Tidak menjawab.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang