Bagian Sepuluh

24 1 0
                                    

Aku sampai di rumah tepat pukul 7 malam. Tak perlu lagi ku jelaskan kondisi rumah, bukan? Masih sama seperti kemarin-kemarin. Bahkan masih sama tidak ada telefon dari kedua orang tuaku.

Sebenarnya, dulu aku punya satu teman dirumah. Chiko. Dia hanya anjing biasa yang menjadi temanku saat dirumah. Tapi setahun lalu, tanpa alasan apapun, tiba-tiba chiko meninggal.

Seperti biasa, setelah mengunci pintu utama aku segera naik keatas. Memasang lagu, menchargerkan handphone, mandi, lalu mengerjakan PR.

Terkadang aku berpikir mengapa kehidupanku terlalu menyedihkan seperti ini. Rasanya terkadang aku ingin mengakhiri hidup, tapi bukankah itu terlalu bodoh?

Selama ini, ulang tahunku tak pernah semenakjubkan kebanyakan orang. Dan bahkan terkadang hanya felix, Gaby, dan Mellysa yang mengungatnya.

Tapi tahun ini? Felix sudah tidak ada dan tahun ini adalah tahun dimana orang mengatakannya dengan umur terhebat, tujuh belas tahun.

Aku tersenyum miring. Terlalu bodoh jika aku mengharapkan banyak hal. Tidak akan ada kesan menakjubkan apapun.

Aku menghilangkan segala pikiranku dan mulai mengerjakan PR ku lagi. Sesekali air mataku akan terjatuh ke kertas tugasku.

Aku merasa tidak adil. Mengapa Tuhan menciptakanku jika akhirnya berakhir sedih? Mengapa harus mereka yang menjadi orang tuaku. Apa sejak awal Tuhan tak berniat menciptakanku?

Handphoneku berdering. Aku mengusap air mata di pipiku. Ku letakkan pulpenku keatas buku dan segera berlari kearah nakas di sebelah tempat tidurku.

Ezra

Lagi lagi dia. Mau apa lagi?

Aku sengaja tak mengangkat telfon dari Ezra. Mood ku sedang tidak bagus. Aku berjalan kearah balkon, memastikan dia tidak ada di bawah sana.

Setelah memantau dan melihat dia benar-benar tidak ada disana, aku segera kembali ke meja belajarku. Handphoneku terus berdering dan aku terus tak menghiraukannya.

Setengah jam setelahnya, semua tugasku telah selesai. Aku menyusun buku mata pelajaran untuk besok dan segera pergi ke tempat tidur untuk beristirahat.

Aku mengecek handphoneku. Ada beberapa telefon dan Chat dari Ezra. Segera ku hapus segala notif dari Ezra. Semakin aku melihat namanya di Handphoneku, semakin aku membencinya.

***

Alaramku berbunyi keras. Disertai bunyi piring pecah dari bawah sana. Sekarang masih pukul lima pagi. Dan orang tuaku kembali berteriak layaknya sedang berada hutan.

"IBU SEPERTI APA YANG TEGA MENELANTARKAN ANAKNYA? LEBIH BAIK KAMU DI RUMAH DAN TIDAK USAH BEKERJA!"

Lagi. Pagi ini aku kembali sarapan sebelum waktunya. Papa kembali berteriak lantang dan mama selalu menjawab. Aku sudah hapal dialog mereka. Dan tanpa berpikir panjang aku segera mandi dan bersiap-siap. Tapi tetap saja, suara mereka masih terdengar keras.

Sudah pukul setengah Tujuh. Mengapa mereka tahan sekali? Kupingku terasa panas saat papa dan mama kembali membawa namaku. Aku mengambil tas dan segera turun.

Aku melihat mama meremas rambutnya dan papa yang sadar akan suara kakiku.

"Kamu mau kemana?" Suara papa kembali terdengar marah padaku.

"Sekolah." Aku mengabaikan mereka dan berjalan mendekati kulkas. Aku mengambil beberapa potong roti dan minuman lalu memasukkannya kedalam tas dengan cepat lalu berjalan kearah pintu.

"Jam berapa ini? Cepat sekali Vel."

"Jam berapa? Mama liat dong sudah jam tujuh pagi! Makanya gak perlu kan selalu bertengkar?!" Entah dapat keberanian dari mana aku berkata kepada mamaku dengan suara tinggi.

"INI! LIHAT DISEKOLAHIN MALAH JADI ANAK YANG BODOH. ANAK MACAM APA KAMU?"

Jujur mendengar makian papa membuat aku semakin naik pitam.

"Papa bisa gak sih ngomong gak perlu teriak? Velly dengar kok. Kuping Velly ada dua dan cukup buat dengar semuanya sejak tadi pagi. Dan gak nyangka ya, ternyata Velly Masih dianggap anak rupanya. Selama ini kemana? Bukan di rumah ini kan?"

Aku melihat papa menaikkan tangannya keudara. Aku hapal kejadian ini.

"Pa! Jangan!"

"Gak nyangka ya Ma, anak yang udah di besarkan seperti ini tidak tau terimakasih."

"KALAU KALIAN PERLU TAU JUGA, AKU GAK PERNAH MENGHARAPKAN LAHIR DARI KELUARGA SEPERTI INI !"

Aku membuka pintu dan menutupnya dengan keras. Aku berlari keluar rumah lalu berjalan. Entahlah. Aku tak punya tujuan. Masih ada waktu satu jam lagi untuk masuk sekolah.

Aku berjalan sendirian menuju sekolah. Disertai dengan isak tangis yang sejak dulu selalu aku keluarkan. Aku sungguh tidak kuat lagi seperti ini.

Apakah aku harus mati ? Apakah aku harus pergi? Tapi aku harus kemana?

Air mata kembali membasahi pipiku. Berulang kali aku mengusapnya, tapi tetap saja ia selalu keluar.

Perutku berbunyi tanda aku lapar. Aku ingat bahwa aku membawa beberapa potong roti. Aku memutuskan untuk berhenti di taman dekat sekolah. Duduk disana dan mengeluarkan sarapanku. Kubuka plastik roti itu lalu melahapnya.

Air mataku kembali jatuh. Rasanya aku ingin sarapan sebagaimana wajarnya. Bagaimana Gaby yang selalu bercerita tentang kebiasaannya bersama keluarganya saat pagi hari. Bagaimana Mellysa bercerita tentang nasi goreng buatan mamanya. Dan sebagaimana cerita teman-teman sekelasku mengenai bekal yang mereka bawa kesekolah. Sedangkan aku? Kau pasti tau. Mungkin makan dirumah saja aku sangat jarang.

Aku menatap roti yang kupegang dan melahapnya sedikitnya. Aku menggigit bagiann roti itu, lalu mengusap air mata. Menggugitnya lagi, lalu mengusap air mataku. Begitu seterusnya sampai gigitan terakhir.

Aku membuka roti lain lalu mengulangi hal yang sama. Entah mengapa rasanya air mataku pagi ini benar-benar sulit diajak kompromi.

"Velly?"

Aku tersadar dari lamunanku. Aku melihat seseorang yang menyapaku.

"Orang tua lo berantem lagi?"

Aku kembali menangis lebih deras.

"Gab, gue salah apa? Kenapa orang tua gue seperti ini? Gue..." kurasakan Gaby memelukku dengan sangat dalam.

"Enggak. Lo gak salah Vel. Enggak." Kurasakan Gaby mengusap kepalaku.

Aku melepaskan pelukan gaby dan menghapus air mataku.

"Mata gue perih gab."

"Iya bengkak."

"Yaudah ayo kesekolah. Lima menit lagi bel masuk Gab."

"Lo yakin mau ke sekolah?"

Aku mengangguk. Aku tidak ingin bolos hanya karena kedua orang tuaku.

"Yaudah ayo."

Aku merapikan barang-barangku dan mengikuti Gaby yang berjalan di depanku.

Aku naik keatas motor gaby setelah memakai helm yang di berikan oleh Gaby.

Dan setelah itu motor melaju dengan cepat menembus kota itu.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang