“Anjrit! Satu ruangan? Cuma beda nomor kursi?! Serius, kalo gue jadi lo, itu pepsi di tangan pasti udah gue ceburin ke muka dia.”
Karanina Lubis mengalihkan pandangan ke luar jendela, tepat berlalunya murid-murid yang hendak mengisi perut, maklum, jam istirahat baru saja berbunyi lima menit yang lalu.
Ocehan masih berlanjut. Nina tak mungkin menghentikan laju kata yang keluar dari mulut Tiwi. Berita yang baru saja diterima Tiwi hampir membuat wajah gadis itu menyemburkan api. “Sial banget. Gue nyesel pernah menobatkan si Endru sebagai pacar ter-sweet,” geramnya lagi.
Hening akhirnya menjeda obrolan panas.
“Lo nggak laper?”
“Lo nggak ngerasa gimana gitu? Pantes aja ya, si Endru nggak lewat kelas kita, biasanya bela-belain muter padahal tangga tengah lebih deket ke kelasnya.” Ternyata gerutuan itu masih berlanjut. Membuat Nina malas se malas-malasnya. “Lo nggak nangis?”
Bola mata Nina melebar, kemudian bergidik. “Nggak lah, ngapain juga gue nangis.”
Untuk cowok yang menembaknya dengan kata-kata romantis. Memberinya hadiah secara sembunyi-sembunyi saat seluruh murid di kelasnya belum hadir. Dan untuk cowok yang sangat teramat rajin menanyakan kabarnya layaknya orang minum obat, tiga kali sehari. Tentu saja penghianatan Endru menyisakan rasa kecewa.
Tapi, Nina meyakini dirinya, untuk tak boleh lebih dari itu. Berlebihan, dan tak pantas. Menangisi, lalu memohon minta balikan? Mau ditaruh di mana mukanya.
Nina bangkit. “Cari minuman yuk. Ke kantin.”
“Hm. Pengalihan isu,” sindir Tiwi, namun tetap mengikuti langkah Nina.
Sampai di kantin, setelah memesan jus, Nina yang berniat balik ke kelas justru ditarik oleh Tiwi ke salah satu kursi kosong.
“Itu si Icha. Lo tau kan dari SMP aja, tu anak udah centil kebangetan,” gerutu Tiwi. “Tu anak bibit-bibit Pelakor banget.”
Nina menaikkan alis. “Istilah lo ketuaan.”
“Yang terbaru kalo nggak salah gue istilahnya Walingmi, Wanita Maling Suami,” lanjut Tiwi.
Nina membuka mulutnya sesaat sebelum menggeleng-geleng kembali menyeruput jus jeruk.
“Jangan liatin gue kayak gitu, salahin aja Kakak gue yang doyan pantengin Lamtur. Terus update info terbaru ke gue.”
“Pembelaan lo nggak banget. Akun IG lo pasti juga ikutin akun gosip satu itu.”
“Ya... mau gimana lagi, lama-lama kan gue penasaran juga.” Tiwi memasang wajah tak bersalah. “Ish... liat deh tuh gayanya. Pengin gue cekik di tempat.”
Nina melirik dari ekor matanya, Icha, cewek yang ditemuinya di bioskop dan berjalan bergandengan tangan dengan Endru tengah mengelus-elus rambutnya dengan gaya manja.
Jika mengingat kembali kejadian itu bohong jika tak ada rasa amarah. Nina, yang sedang menunggu pintu teather di buka diapit Mami Papi dihadapkan dengan sepasang anak muda yang dari tampilan luarnya saja sudah bisa menebak jika mereka adalah pasangan kekasih.
Untung saja Nina memiliki kemampuan untuk tetap tenang, sampai mata Endru menoleh ke arahnya. Dia gelagapan dan memutuskan untuk menarik jemarinya dari cewek yang digandengnya. Tidak perlu menunggu sampai di rumah. Dalam keremangan ruang bioskop Nina langsung memutuskan untuk memblokir nomor telepon Endru.
Tiga bulan hanya waktu singkat. Apalagi untuk ukuran pacaran diam-diam yang mereka jalani. Hanya bertemu di sekolah dan tidak memiliki kesempatan jalan ke mana pun layaknya orang pacaran sungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Don't Talk Anymore
Teen FictionKaranina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai direcoki dengan acara pembalasan dendam yang dirancang matang oleh Tiwi. Beragam cowok most wanted se...