"Susunya Nina..."
Nina meringis kala menyisakan seperempat gelas susunya. Papi sudah siap-siap, dia ingin segera menyusul. Lagipula, siapa suruh Mami mengganti susu cokelatnya dengan susu fullcream seperti itu. Mau membantah, sama saja. Tetap Nina yang akan kalah dalam perdebatan.
Nina menegak paksa sisa susunya, sebelum berdiri sambil meraih tas ranselnya saat seseorang mengetuk pintu rumah mereka.
Mami berjalan mendahului Nina. Mata Nina menyipit dari balik pintu besi. Mama Tiwi? Saat Nina bergerak maju, percakapan antara Maminya dan Mama Tiwi telah dimulai.
"Anak Ibu nggak pulang?" suara terkejut Mami. "Nggak. Tiwi nggak menginap di sini."
Bibir bawah Nina mengulum. Semakin terasa nyeri karena dia terus menggigiti bibir bawahnya. Tiwi kabur dari rumah?
"Memang perkaranya apa sampai Tiwi kabur dari rumah?"
Mama Tiwi enggan menjawab. Meski nada pertanyaan Mami terkesan sangat ingin tahu. Nina berada di balik tubuh Mami,, sekelebat ingatan muncul, saat berulang kali Tiwi mengeluh dengan kondisi keluarganya.
"Jadi Tiwi nggak menginap di sini ya. Nina, nanti kalau Tiwi ada hubungi kamu jangan lupa kabarin Tante ya?"
Nina mengangguk patuh.
Tak lama Mama Tiwi pamit pulang, sepertinya dia berniat mencari Tiwi lagi. Di saat yang bersamaan Mami mengarahkan pandangan ke Nina. "Teman kamu itu nakal juga ya?"
Nina bergidik sebelum mengendikkan bahu. "Nggak tau Mam. Baru kali ini kok Tiwi kabur dari rumah."
Beruntung Papi segera muncul dengan tas kerjanya. Nina menyalim tangan Mami sebelum beralih ke Papi. Papi sempat bertanya sekilas dan dijawab Nina dengan cepat 'tidak tahu'.
Sepanjang perjalanan ke sekolah Nina gelisah. Tangannya terus saja berada pada layar ponsel. Sudah berpuluh kali chat yang dia kirimkan ke Tiwi, yang bahkan terkirim saja tidak. Tiwi me-nonaktifkan ponselnya.
"Nanti lagi coba hubungi," kata Papi saat memberhentikan mobil. "Nina kamu dengerin Papi ya, sebesar apa pun masalah yang kamu hadapi coba diskusikan ke Papi. Karena masalah anak remaja ini berbeda ditambah lagi dengan pikiran yang labil."
"Hm," gumam Nina, menyalim tangan Papi dan mengecup kedua pipinya. Nina sadar betul dari mana hidung mancung dan wajah cantiknya di turunkan, karena Papinya. Dia sangat mirip dengan Papinya, seluruh keluarga mengakui. Papinya, meski sudah berusia diatas empat puluh, tetap terlihat gagah dan tampan. Sedangkan Maminya hanya kebagian mewarisi kulit putihnya kepada Nina.
Nina turun dengan perasaan gamang. Riuh suara murid hingga kakinya menapak di dalam kelas tak mampu mengalihkan pikiran kusut Nina. Bahkan hingga bel istirahat pertama berbunyi.
Buku-buku masih tergeletak di atas meja saat Aga datang. Nina mendongak sesaat sebelum memasukkannya ke dalam tas.
"Muka lo kusut banget," kata Aga.
"Belom di setrika cyiinn.." sahutan lain menyambar. Nina menoleh saat Ajeng sudah menarik Rama keluar dari kelas.
"Gerah gue! Kayak di neraka, keluar yuk!" sambaran lain dari sudut ruangan. Danisa, yang tempo hari sempat di bilang Tiwi juga mengincar Aga.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Nina yang malah terdengar ketus.
Aga melipat tangannya. "Mau ketemu lo."
Seketika Nina menggigit bibir bawahnya tak menyangka Aga menjawab segamblang itu. Tapi begitu Aga mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari kantungnya, perasaan membuncah Nina langsung terhempas begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Don't Talk Anymore
Teen FictionKaranina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai direcoki dengan acara pembalasan dendam yang dirancang matang oleh Tiwi. Beragam cowok most wanted se...