Hari ini Tiwi kembali tak masuk. Tak bisa dipungkiri ada sedikit rasa khawatir dalam diri Nina. Sekalipun Tiwi sering mengaturnya, tapi dari dulu hanya Tiwi yang tanpa sungkan mengajaknya berteman, menjadi tameng jika teman-teman lain mulai sinis kepada Nina. Seringkali Nina terdiam di depa cermin, ya, wajah diamnya memang terkesan sombong, meski niatan dalam hatinya sering kali berbeda.
Tapi orang-orang selalu menilai berdasarkan fisik. Tanpa punya sedikit niatan untuk mau tahu lebih dalam.
Nina berdecak, jika sudah diam dan tak ada teman ngobrol maka pikirannya sering melantur kemana-mana.
Oh ya, mana anak itu? dengus Nina dalam hati. Diparkiran, motornya tidak kelihatan. Tampangnya pun tak tampak melewati kelas Nina. Kemarin berani-beraninya dia menantang Mami. Bagaimana jika Mami masih mengingatnya? Bisa-bisa kejadian memalukan bertahun-tahun yang lalu akan terulang. Atau Aga memang sengaja melakukannya? Menantang Mami?
Nina tak sabar untuk mengangkat bokong dari kursi yang didudukinya. Hanya saja, jam pelajaran masih lama selesainya. Belum lagi Nina dihadapkan dengan rumus-rumus kimia yang membuatnya menekan kepala dalam-dalam, takut ditanya oleh guru.
"Pssttt.... Temen lo kemana?-"
"Metong?"
"Lo nyamber aja ya, gue jadiin rel kereta beneran baru tau lo."
Nina melirik ke arah belakang.
"Ya kali metong beneran, nggak ada kabar berita. Lagian ngapain ditanya sih Jeng, kan hidup kita damai nggak ada yang wara-wiri kayak hansip, cuma buat negur 'Heh, lo bisa diem nggak sih?'," kata Rama menirukan suara Tiwi.
"Ya ini juga gue tanya maksudnya berapa lama lagi dia kagak masuknya? Demen gue, hidup gue tenang." Mereka serempak tertawa.
Nina membuka sedikit mulutnya sebelum kembali mengatup.
"Itu yang di sudut! Ngobrol?! Coba maju ke depan, kerjakan soal nomor tiga."
"Mampus lo, mampus!" kata Rama dan mereka mulai saling menyalahkan.
Nina memandang tak peduli, dan kembali ke buku paketnya. Seketika bergidik, untung bukan dia yang disuruh maju ke depan.
Dan sudah pasti di depan, Rama dan Ajeng kesulitan menyelesaikan soal.
Ah, rasanya cukup menimbun kebosanan kala melihat ke jam tangannya. Dan akhirnya bel yang ditunggu-tunggu datang juga.
Nina masih mendengar gerutuan Rama dan Ajeng ketika dia membereskan bukunya.
"Incess punya kekuatan magic kayaknya nih. Sekali negur langsung kena hukuman, apes gue," kata Rama.
"Suara lo yang ketinggian kampret. Gue tadi bisik-bisik. Lo main motong aja."
Nina mengabaikan dan berjalan keluar kelas. Di belokan tangga langkahnya memelan. Alisnya terangkat. Ninja merah milik Aga memang begitu mencolok. Bukan beralih ke perpustakaan atau kantin, Nina malah mendekati pagar pembatas.
Dia mengambil ponsel dari kantung rok.
Karanina : Cabut?
Nina masih mengamati Aga yang duduk di kursi warung dengan batang rokok ditangannya. Belum ada tanda-tanda mengambil ponsel.
Karanina : Lo sengaja mancing Mami gue kemarin?
Nina menipiskan bibir sambil menumpukan siku pada pembatas. Sepertinya cowok itu memberikan mode silent pada ponselnya.
Karanina : Memang cowok bakal keliatan keren kalo ngerokok gitu? Kalo cewek gimana? Keren juga nggak? Sekali-kali gue pengin coba.
Lewat lima menit. Nina masih berdiam di posisinya. Kenapa dia jadi tertarik dengan apa yang dilakukan cowok itu di luaran? Aga yang dulu begini, Aga yang sekarang begitu, Nina tak ingin memikirkannya, tapi selalu saja bayangan itu berseliweran di benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Don't Talk Anymore
Novela JuvenilKaranina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai direcoki dengan acara pembalasan dendam yang dirancang matang oleh Tiwi. Beragam cowok most wanted se...