Tiwi Anjani, Nina tak bisa lagi mengelak dari cewek itu. Setelah sepanjang pelajaran dia terus saja mencoba menanyai Nina. "Dia ngomong apaan? Tadi gue liat dia komat-kamit gitu dari jauh.""Nggak ada. Ngomongnya nggak jelas gitu."
"Ngomong nggak jelas kok tiba-tiba pergi?"
Nina mengendikkan bahunya. "Tauk. Dianya memang nggak jelas kali."
"Dan... lo kenapa bisa ke kantin bareng duo curut itu sih?"
Nina memandang tak suka dengan sebutan itu. "Nggak ada orang di kelas, diajakin, gue ikut."
"Lo sih, tadi gue ajakin nggak mau."
Nina menarik ransel ke punggungnya. Berjalan mendahului keluar kelas. Tak peduli dengan suasana hati Nina, Tiwi tetap mengamit lengannya. "Sekali-kali nongkrong yuk. Bikin alesan cakep ke Mami lo, pasti dikasih."
Nina tak yakin rencana Tiwi bisa terlaksana dengan baik. Terkecuali dengan bantuan Om Iko. Tapi jalan keluar bareng Om Iko? Hm, sepertinya lumayan juga. Apalagi kalau Om Iko mengajak temannya. Astaga... Nina tak habis pikir, bagaimana bisa wajah Aksa malah muncul di kepalanya.
"Heh! Malah ngelamun."
"Oke deh, tapi ntar gue pastiin dulu."
"Nah, gitu dong... Eh, Eh... itu orangnya, yang gue bilang tadi, cakep kan?" Tiwi menahan lengan Nina. Tipikal cowok taat peraturan, batin Nina menilik dari kejauhan.
Nina menyimpan decakan dalam mulutnya, sepertinya kondisi ini tak akan berlalu begitu saja. Dia sangat paham Tiwi yang selalu ngotot dalam segala hal.
Tiba-tiba saja ide konyol melintas di kepala Nina, dan barangkali ini akan menjadi ide tercerdas. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui judulnya. "Wi," Nina menyergah lengan Tiwi. "Gue punya calon buat balas si Endru."
Tiwi membeliak, kemudian menyipit. "Anak sekolahan sini kan?" Anggukan Nina membuat Tiwi berbinar. "Siapa?"
"Ganesha," sahut Nina dengan satu tarikan napas.
Langkah Tiwi terhenti, ditatapnya Nina dalam. "Itukan gebetan gue."
"Tadi-" Nina mengambil napas. "Waktu dia tiba-tiba duduk di kursi depan gue, si Endru ngeliatinnya aneh. Lagian-" berpikir cerdas Nina. "-gue nggak suka cowok begajulan begitu. Jadi tujuannya yah cuma mau buat si Endru tersakiti kan?"
"Memang tu cowok mau sama lo?"
Alis Nina terangkat. Ini dia poinnya. Aga tak akan mau berdekatan dengannya. Cerita lampau mereka ditutup dengan kenangan pahit. Jadi sangat... kecil kemungkinan Aga menerima idenya. "Hm... ya, gue cuma berpikir dia sih yang cocok. Kalo dia nggak mau ya udah. Lupain aja. Gue bakal ngejalanin hari-hari tenang semasa SMA."
"Tapikan dia gebetan gue, Nin. Tega lo?"
"Kan belum tentu juga dia mau sama gue," elak Nina. "Kalo pun setuju, palingan jalan beberapa bulan doang."
***
Sejak semalam ponsel Nina aman. Nina berpikir hari ini juga akan berlangsung aman. Tak ada Tiwi dengan segudang ide dan ambisinya untuk mencarikan Nina gebetan baru.
Nina melangkah perlahan begitu turun dari mobil. Langkahnya seolah sangat ringan. Dia bahkan dengan fasih memaling saat di ujung parkiran Endru tiba dengan membonceng Icha. Sama sekali tak ada rasa cemburu.
"Bicara bentar." Nina tersentak saat lengannya ditarik begitu saja oleh seseorang menuju halaman belakang.
Bayangan hari indahnya lenyap seketika menatap cowok di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Don't Talk Anymore
Teen FictionKaranina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai direcoki dengan acara pembalasan dendam yang dirancang matang oleh Tiwi. Beragam cowok most wanted se...